Senin, 16 Juli 2012

KAMU TARGET MASA DEPAN AKU


Matahari pagi ini tidak bersinar terlalu terik seperti biasanya. Mungkin akibat hujan badai semalam. Aku mengusap kaca jendela kamarku yang berembun. Memperhatikan anak-anak sekolah yang berlalu lalang setiap paginya. Aku merentangkan tangan selebar-lebarnya dan menghirup udara pengab yang selalu saja kutemukan setiap pagi, merapatkan kancing jaket yang kukenakan. Aku berpindah menuju sisi tempat tidur. Masih berantakan dan beberapa buku tergeletak disana. Berpindah pandangan di meja sudut ruangan mungilku. Ada sekotak kue sisa semalam, kopi dingin dan beberapa puntung rokok yang tentu saja juga sisa. Masih tersisa satu jam lagi untuk aku berangkat ke kantor.

Tok tok tok tok… Ada yang mengetuk pintu, dari nada ketukannya aku hafal benar siapa yang mengetuk. Rachel, wanita yang setia mendampingiku enam bulan terakhir ini. Segera aku berjalan untuk membukakan pintu untuknya. Masih bermalas-malasan.
“Pagi Sayaaaanngg….” Sapa Rachel penuh antusias. Dipeluknya tubuhku dan dengan segera dia menghambur kekamarku. Seperti biasa,
“Iiiihhh jorok banget, belum mandi. Kok belum mandi, ngk ngantor??” Tanya Rachel sambil sibuk merapikan tempat tidurku. Aku memang kost di kota ini.
“Ngantor, tapi ntar lagi aja. Kamu gak kerja??” Tanyaku sambil berjalan kearahnya.
“Males, hari ini aku ijin sakit. Aku kangen kamu..” Ucapnya tulus kepadaku.
“Ooohh jadi itu alasannya sampe ngk ngantor…” Kuusap lembut kepalanya, tanpa menunggu aba-aba dia segera menarikku duduk ditepi tempat tidur.
“Kita jarang ketemu akhir-akhir ini, deadline kamu sangat padat. Berita-berita busuk itu pastinya yang bikin kamu jauh dari aku. Oh iya, hari ini ada liputan??” Tanyanya sembari merebahkan diri ditempat tidur. Rachel yang telah membuka baju dan hanya memakai bra dan rok mini membuat libidoku naik.
“Iya, liputan pertandingan bola. Dan meliput kamu.” Segera aku menunduk dan mencium lembut bibirnya. Ternyata Rachel menanggapinya beda, disambutnya bibirku dengan kuluman hebat dan tarikan pelukan ke tubuhnya. Hawa panas tubuh Rachel dan udara dingin pagi ini membuatku langsung mengerti akan maunya dia. Kuusap lidahku dibibir mungilnya. Kukerahkan tangan kiriku untuk meraba lehernya. Rachel mendesah pelan. Sambil tetap mencium bibirnya, kupindahkan tanganku menuju payudaranya, sekali hentakan kecil, bra yang dikenakannya lepas dari kaitan.
“Beri aku lebih Adam..” Pinta  Rachel penuh harap, belum sempat kujawab panggilan telepon mengusik kami. Kulirik dan ternyata telepon dari kantor.
“Maaf sayang aku harus liputan.” Kukecup mesra kening Rachel dan kudapati kekecewaan dimatanya. Apa boleh buat, aku datang di kota ini untuk bekerja.


+++
“Bisa temenin gue makan siang gak Dam…” Ucap Riri cepat, Riri ini editor di liputan sport. Artikel yang kupegang, alhasil aku sering sekali menghabiskan waktu bersama Riri, cewek tomboy yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Dia manis dan juga mandiri. Sampai sekarang dia tidak tahu dimana orang tuanya. Entah meninggal atau masih hidup. Istimewanya dia tidak pernah sedih saat menceritakan masa lalunya kepadaku, entah disembunyikan atau memang dia terlalu menikmati hidup. Yang pasti, dia terlalu pintar untuk menyembunyikan perasaannya.
“Hey, mau nggak, malah nglamun” Bentak Riri.
“Oh iya, boleh. Mau makan dimana emangnya??” Tanyaku sambil mematikan laptopku.
“Di deket kantor aja, artikel loe ancur banget, bikin banyak kerjaan gue aja. Loe kenapa sih??” Tanyanya sembari menjajari langkahku yang agak cepat, sadar akan ketertinggalannya kuperlambat langkahku.
“Gak ada, Cuma akhir-akhir ini gue kangen Ibu sama adek gue di kampung.” Aku memelankan suara, takut teman-teman yang berjalan bergerombol mendengar omongan kami.
“ Ooohh tengokin dong, “ Kata Riri sambil menepuk pundakku. Aku tersenyum miris mendengarnya. Tidak mungkin aku pulang kampung dengan uang yang pas-pasan untuk bayar kost dan makan.
“ Gue mau kok nemenin loe jengukin nyokap loe di kampung “ Sahut Riri penuh antusias, padahal aku tidak pernah berinisiatif untuk mengajaknya. Kubiarkan saja dia terus berceloteh bahagia sembari menerawang.
“Loe tau gak Dam, gue belum pernah punya Ibu, gue pengen banget punya keluarga,.” Ucapnya sambil menerawang, langkah kami sudah terhenti di warung tenda biru sebelah kantor. Kami makan soto daging.
“ Keluarga gue bukan orang kaya Ri, emang loe mau?? Ibu gue tiap harinya Cuma ngangon bebek ma nanem sayur. Oh iya, gue punya adik cowok namanya Jibril. “ aku setengah menjelaskan buat Riri.
“ hei, emang masalah buat gue,. Gue pengen nanem sayur ma ngangon bebek, sama nyokap loe pastinya, boleh ya, pliiiiiiiiiiiisssss”. Riri merengek persis anak kecil yang minta dibelikan mainan.
“Oke, loe boleh ikut, tapi janji gak boleh ngeluh ya, kampung gue jauh banget.” Aku mengamini permintaannya.
“Janji, makasi yaaa…” Refleks Riri memelukku, hal yang sering dilakukannya kalau aku mengabulkan permintaannya atau mau dimintai tolong olehnya. Ya Riri.


+++

“Kok buru-buru pulangnya, ini kan long week end, kita juga jarang kan jalan bareng..” Rachel tampak terkejut dengan niat kepulanganku. Dia sibuk mengamati aku yang sedang mengemasi pakaian.
“Bisa tolong ambilin ransel??” Pintaku tanpa menggubris permintaannya.
“Dam kok nggak dijawab??” Rachel setengah membentak.
“Apa sih??? Aku kangen banget sama nyokap, kamu bisa ngerti kan???” Aku melengos kesal menatapnya, Rachel selalu begitu. Dia berjalan memelukku. Huuffftt ini yang aku tidak sanggup.
“ Aku boleh ikut ya?? “ Pintanya penuh harap. Oh My God, kalau Rachel ikut, apa dia mau menerima keluargaku, selama ini dia tidak bertanya tentang latar belakang keluargaku. Aku juga tidak pernah menceritakan kepadanya. Tidak, dia tidak boleh ikut.
“ Kampungku jauh banget, emang kamu sanggup??” Tanyaku.
“ Mmmmmhh aku janji nggak bakalan ngrepotin..”  Rachel berucap ragu. Dan aku tahu, wanita seperti Rachel tidak akan sanggup melihat sisi lain keluargaku.
“ Nggak, kamu nggak boleh ikut..” Jawabku ketus.
“ Kamu pulang ya sekarang, aku udah mau pergi..” usirku lembut, aku takut menyinggung perasaannya.
“ Tapi aku mau ikut??? Jangan bilang kalau kamu pergi sama Riri. Berapa kali aku bilang, cewek tomboy itu suka sama kamu. Kamu ngerti nggak sih…?? “ Riri berteriak membuatku semakin meradang.
“ Aku tidak ada hubungan sama sekali dengan Riri, kecuali hubungan kerja dan sahabat. Tidak lebih !! “
“ Trus kenapa kamu nggak ngajak aku?? Aku juga pengen dikenalin sama keluargamu. Atau kamu memang nggak mau ngenalin aku sama keluarga kamu “ Rachel terus saja mendesakku untuk mengajaknya. Aku tetap tidak bergeming. Aku yakin Rachel tidak akan bisa menerima keluargaku, keluargaku yang udik, keluargaku yang kampungan.
“Mending kamu pulang, aku udah mau berangkat.” Kataku seraya membukakan pintu untukknya. Seperti mengusir memang, namun memang aku harus segera pergi, aku Cuma punya sedikit waktu dan aku tidak mau dihalang-halangi oleh Rachel.
“Oke, aku pergi!!! Selamat bersenang-senang dengan Ririmu itu!!” Brakkkk.. Rachel membanting pintu dengan amarah yang tertahan.

+++

Setelah melewati lima jam perjalanan, akhirnya aku dan Riri sampai juga di kampung halamanku. Namun kamu belum bisa menarik nafas lega, setidaknya masih tiga kilometer lagi perjalanan yang harus ditempuh dengan jalan kaki. Pemandangan kebun teh yang terhampar dikiri kanan kami membuat Riri seperti kesetanan. Berkali-kali dia minta difoto menggunakan kamera pocketnya. Ahhh Riri, selalu bisa membuatku tersenyum.
“Dam, coba ya kalo kita bawa kamera kantor, pasti lebih keren..” Kata Riri setengah menyesal.
“Udahlah ini juga udah cukup, minum nih. Loe gak haus apa..” Aku menyerahkan sebotol teh yang kami bawa tadi untuknya.
“Nggak deh, gue pengen nyicipin teh hangat asli buatan nyokap loe. Asli, disini dingin bangeeeettt.. brrrrr” Riri merapatkan jaketnya. Aku cuma bisa tertawa melihatnya. Riri banyak berceloteh tentang kehidupannya, termasuk cerita yang selalu direplay berulang kali untukku. Selalu gagal dalam berpacaran. Dia sempat ingin berubah menjadi cewek yang lebih feminim, dicobanya berulang kali dan selalu gagal.
“Ri, loe liat gak rumah diujung sana. Itu rumah gue…” Riri melongok kegirangan. Tanpa menunggu aba-aba dia segera berlari menuju rumahku. Rumah berdinding anyaman bambu dan beratapkan genteng tanah. Rumahku juga berada diantara perkebuban teh. Namun, banyak juga tumbuhan lain.
“Assalamualaikuuuuuuuummmm” Teriak Riri, aku mengekor dibelakangnya. Tak lama berselang muncul seorang ibu berusia lima puluh lima tahun dan seorang pria berusia lima belas tahun. Ya mereka adalah ibu dan adikku.
“Adam, kamu pulang nak. Kok nggak telpon Ibu dulu.” Ibu menyambutku gembira, pandangannya juga tak lepas dari Riri.
“Maaf Bu, ini juga mendadak pulangnya. Hey boy, apa kabar??” Sapaku kepada adik lelakiku satu-satunya.
“Baik kang. Kang ini siapa?? Calon ipar Jibril ya???” Tanya Jibril antusias. Ibu menyenggol Jibril menggunakan sikunya.
“Ibu, Jibril. Perkenalkan nama saya Riri. Teman kerjanya Adam. Riri boleh tinggal disini kan Bu??” Riri bisa sopan juga ternyata, ucapku membathin.
Mata Ibu membeliak lebar, “Waahh tentu saja Nak, nanti kamu nempati kamar Adam saja. Soalnya Cuma ada tiga kamar dirumah. Nanti biar Adam tidur sama Jibril. Eh ayo masuk, Ibu buatin teh hangat. Nanti mau Ibu masakin apa? Suka ikan mujair yang digoreng kering pake lalapan?? Di rumah Ibu nggak pernah ada anak perempuan. Satu-satunya perempuan ya cuma Ibu ini…” Ibu terlihat bersemangat sekali dengan Riri. Padahal mereka baru saja saling kenal. Aku sampai menggeleng-geleng dibelakang. Riri juga, tampak sekali dia bahagia. Terlihat saat mereka berjalan berpelukan. Aku mengekor dibelakang sambil membawa tas Riri.

+++

“Udah selesai sarapannya??” tanyaku pada Riri yang sibuk mengamati kolam ikan kecil dibelakang rumahku. Suasana dingin pagi ini membuat Riri memakai sarung dua lapis.
“Udah, eh loe gak dingin apa cuma pake singlet kayak gitu.”Riri menatapku heran. Dari mulutnya terlihat kepulan asap tipis, tanda dia memang kedingingan. Daerah tempatku berasal memang sangat dingin.
“Nggak, mandi gih bau.”
“Gue gak mau mandi…”
“Jorok banget”
“Biarin…”
“Pantesan gak ada yang mau sama loe…”
“Ada ..”
“Siapa??”
“Loe!!!” Riri menatapku tajam.
……..
“hahahahahaha”

Selanjutnya jangan dibilang apa yang kami lakukan. Banyak hal, mengambil air di pancuran, membantu Ibu berkebun dan juga menggembala bebek. Riri juga sangat akrab dengan Jibril. Apalagi Ibu, tidak bosan-bosannya beliau mengajari Riri memasak. Hal yang sangat dibencinya, namun kali ini semua rasa yang dimilikinya lenyap. Ibu begitu sabar menuntun Riri yang selalu takut terpercik minyak panas. Bahkan aku dianggap tidak ada oleh Ibu. Saking bahagianya beliau. Beliau selalu meluangkan waktu menyisir rambut Riri dan membantu mengepangnya. Belum pernah aku melihat Ibu sebahagia ini setelah kepergian Abah. Seandainya saja Rachel yang kubawa kesini, apa Ibu akan sebahagia ini?? aku ragu, Rachel tidak bisa membaur seperti Riri. Dan tentu saja Rachel akan jijik berkebun dan menggembala bebek. Beruntung aku membawa Riri untuk Ibu, meskipun kami hanya berteman biasa.

+++

Dua hari terlewatkan, selesai sudah liburan kami. Ibu tampak sedih melihat kami berkemas. Begitu juga dengan Jibril. Mereka tampak berat melepas kami. Riri terlihat sangat sedih, tidak mustahil karena dia telah menjalin hubungan emosional yang dekat dengan Ibuku. Dua hari ini dia menemani Ibu memasak, memetik sayur dan juga menggembala bebek. Riri, aku kagum padanya. Tuhan, semoga ini cuma kagum biasa. Aku takut jatuh cinta padanya. Aku punya Rachel yang setia menungguku disana. Selanjutnya perjalanan kami terasa panjang, kami sama-sama membisu. Aku sibuk menerka-nerka apa yang dipikirkan Riri sebelum dia terlelap dibahu kiriku.

+++

Aku terbangun dengan kondisi badan yang remuk redam. Perjalanan panjang kemarin menyisakan lelah yang membuatku enggan bangun dari tempat tidur. Saat pulang ke kost, kudapati Rachel telah berada disana. Beruntung Riri sudah kuantar pulang terlebih dahulu ke kostannya. Semalam kami tidur bersama dan sekarang aku masih mendapatinya tidur pulas disebelahku. Aku beranjak dari tempat tidur dan mencari apa saja yang bisa kukenakan. Berjalan ke pojok ruangan dan mengambil sebatang rokok, menyulutnya. Nikmat.
“Sayang udah bangun..” Rachel sudah bangun rupanya.
“Iya, mau kerja kan..” jawabku datar.
“Aku disini aja ya…” pintanya lirih.
“Ntar dicari Mama loch…” Aku berusaha mencegahnya.
“Mama lagi keluar kota…”
“Terserah kamu deh…” Aku menyerah lagi untuk kesekian kalinya. Melihatnya Rachel tersenyum manja memancing hasrat kelaki-lakianku. Tak pelak aku menghadiahinya, lagi.

+++

“Aku hamil, Adam” Rachel terisak diantara ucapannya. Aku seperti mendengar malaikat pencabut nyawa sedang berlari kearahku.
“Berapa bulan??” Aku menarik nafas penuh beban.
“Dua bulan..”
“Bukannya selama ini aku selalu pakai pengaman??” Aku memprotes, tidak pernah sekalipun aku tanpa pengaman dengannya.
“Iya,..”
“Trus kenapa bisa hamil, aku yakin nggak bocor…” Aku mulai curiga.
“Maaf Adam.. Tapi buktinya aku hamil, dan kamu harus tahu itu..” Rachel mulai terisak.
“Jelaskan semua ini Rachel..” Suaraku mulai meninggi.
“Ini bukan anak kamu. Maaf Adam, aku nggak sengaja. Ini semua waktu aku mabuk.. Dan pria yang tidur dengan aku gak mau ngakuin kalo ini adalah anaknya….”
“NASTY!!!!!” Aku memaki kuat.
“Tolong aku Adam… Aku nggak pengen anak ini lahir tanpa ayah… Aku bisa dibunuh Papa kalau sampai dia tahu aku hamil, tolong Adaaaamm….” Rachel menangis sejadi-jadinya.
“ Tapi aku bukan ayahnya !!!! “
“ ……. “ Rachel terus terisak. Dadaku sesak, ada yang ingin kumuntahkan, tapi aku tidak tahu itu apa. Harusnya Rachel hanya milikku, sebegitu murahannya, sampai-sampai dia mau saja ditiduri oleh lelaki lain.

Entah kenapa aku menjadi sangat jijik dengan Rachel. Semua rasa sayang itu seolah sirna dengan sekejab. Semua kepercayaan itu musnah. Aku kira dia akan menjadi yang terakhir buatku. Ternyata dia tidak berbeda jauh dengan pelacur. Rasanya pelacur lebih terhormat ketimbang Rachel. Aku patah hati. Aku kecewa. Aku meninggalkan Rachel yang terus terisak di kamarku. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Seandainya itu adalah anankku, sesulit apapun aku akan bertanggung jawab. Tapi ini bukan. Aku hanya menginginkan wanita yang betul-betul menjaga hatinya untuknya, bukannya dengan gampang menyerahkan tubuh sewaktu aku tidak bersamanya.

+++

“Sabar ya Adam. Terkadang manusia memang buta…” Riri berusaha menguatkanku. Wanita ini selalu ada disaat aku terpuruk. Matanya berkilat cepat, aku tahu dia juga sangat marah mendengarnya. Tiba-tiba dia menarik tubuhku lekat dengannya. Mengelus rambutku dan mengatakan bahwa dia akan selalu ada untukku.
Loe tau nggak, gue pernah baca buku yang isinya kayak gini ‘Suatu ketika, saat kau tak yakin akan jalan yang kau pilih, tengok lagi ke belakang sana. Ada tangan-tangan yang selalu bersedia meraihmu, mendengarkan kisahmu, menjagamu’. Nah, sekarang kan gue ada buat loe…” Riri berusaha terus menghiburku.
“Ah sok tau loe..” Aku meledeknya.
“yeee nggak percaya..” Protes Riri.
“Gue gak yakin loe baca buku…”
“Gue suka baca buku…”
“Nggak..”
“Nih..” bukkkk!!! Riri menjotos perutku. Aku menyeringai kesakitan. Riri tertawa puas, aku bahagia melihatnya seperti itu.
Riri pamit membeli makanan kecil untuk kami berdua. Aku menatap punggungnya yang terlihat sedikit lebar. Riri, gadis yang selalu ada buat aku. Yang selalu bersedia menjamin bahwa kehidupanku akan bahagia, walau dia sendiri tidak yakin akan kebahagiannya. Berusaha tampak kuat dihadapanku walau aku tahu dia sebenarnya kadang lemah. Yang selalu bersedia mendengar semua ceritaku, menerima makianku. Ada hal yang paling istimewa sebenarnya. Dia berhasil mengambil hati keluargaku. Menerima kami yang kurang dan memberikan cinta yang lebih kepada kami. Akan kusiapkan hati ini untuknya. Kusiapkan diri ini untuknya. Namun aku tidak akan mengatakannya sekarang. Akan kusiapkan dengan matang tanpa dia tahu apa yang kurasa. Tanpa dia merasa bahwa dia adalah pelarian dari buruknya perilaku Rachel. Akan kubuatkan ruang khusus untuknya dihatiku. Riri, kamu target masa depan aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar