Jumat, 23 Maret 2012

Don't Judge Me a Nasty


Satu juta lima ratus ribu rupiah, tidak terlalu banyak malam ini, aku hanya menerima short time. Tarif yang kukenakan per-jamnya satu koma lima juta. Aku dibooking oom-oom berusia sekitar lima puluh tahunan, hanya lima belas menit dia berada diatas tubuhku, selebihnya bisa kalian bayangkan, dia mendengkur pulas dengan satu juta lima ratus diatas meja rias hotel. Segera kubenahi make up dan baju  kemudian beranjak keluar kamar hotel. Malam ini kuputuskan untuk pulang cepat, badanku terasa penat sekali. Jujur, sebenarnya aku sendiri merasa jijik dengan keputusan yang kuambil sekarang, aku adalah musuh bagi ibu-ibu rumah tangga diseluruh dunia, aku dilirik sebelah mata, aku dicerca semua orang. Aku hina, ya itulah diriku.

Aku berjalan terseok sambil membenahi kembenku yang hampir melorot, kulirik jam tangan yang bercokol indah dipergelangan kanan tanganku, pukul 02.00 dini hari. Gang masuk di kostanku masih tampak begitu ramai oleh pria-pria yang kurang kerjaan yang kerjanya hanya memetik gitar dengan alunan nada sampah. Suitan mereka kuanggap angin lalu, sedikit towelan dipantatku adalah bayaran yang harus kulakukan setiap kali lewat didepan mereka. Dulu waktu baru pertama kali lewat aku merasa risih, tapi lama-lama aku terbiasa. Toh aku ternyata jauh lebih buruk daripada mereka. Banyak dari mereka yang sudah kukenal, maka tak heran kalau aku bisa sedikit melemparkan senyum nakal dibalik bibir yang kupoles dengan lipstick sekelas J.Lo.

“Halo, iya saya Bening. Wah maaf ya malam ini badan saya sedikit tidak enak, kalau lain kali gimana???” tawarku dibalik sambungan telpon, ada yang mengajakku berkencan malam ini, dia ingin memakaiku one day dengan tariff 6.5 juta. Lumayanlah, namun aku menolaknya dengan alasan aku sedang sakit. Aku menyulut rokok putihku sambil duduk dipinggiran meja yang menghadap ke jendela. Kostanku terletak di lantai tiga. Jadi bisa dibayangkan suara-suara sumbang yang terdengar disetiap sudut kamar jika aku melewati kamar mereka. Aku sudah beberapa kali minta pindah di kamar bawah, namun si pemilik kost belum mengamini permintaanku. Mungkin dia kira aku kekurangan uang. Tidak, aku tidak pernah kekurangan uang. Aku pelacur dengan bayaran yang lumayan. Aku masih bisa membeli berbagai bentuk dompet Bally, tas Louis Vitton ataupun selop Gucci yang harganya selangit. Aku juga masih bisa membeli rok korduroi dengan merk-merk ternama. Sedikit bercerita, dulu aku seorang penari di sebuah klub malam di kota ini. Kalian tentu tahu pekerjaan apa yang kulakukan. Sekali dua kali aku menolak ajakan tidur mereka, namun dengan iming-iming barang-barang branded hatiku luluh juga. Aku pertama kali tidur dengan seorang anak pejabat di kota ini. Dengan bayaran sebuah android, tas prada dan jam tangan bermatakan berlian. Pria itu sangat tergila-gila padaku. Dia juga yang menyuruhku untuk berhenti menjadi seorang dancer. Aku tinggal disebuah appartement bertarif dua puluh juta perbulan, kemudian tinggal disebuah pemukiman elite yang dibelakang rumahnya kita mempunyai halaman luas yang langsung menuju ke pantai. Namun kemakmuran itu hanya bertahan dua tahun. Sang pria keburu menghembuskan nafas terakhir di hisapan terakhirnya. Dia pemakai, itu yang kusesali. Mungkin menurut kalian aku jatuh cinta, tidak. Aku tidak akan pernah jatuh cinta. Yang kubutuhkan hanya materi, dan materi itu tidak butuh perasaan. Jahat, memang. Tapi bukannya hidup itu perlu sedikit kelicikan, kemunafikan dan banyak kebohongan. Entah, arti harafiah yang sesungguhnya juga aku tidak terlalu paham.

***

“Kamu hebat banget…” ujar Dandy, cowok yang bekerja dibidang property ini kini ada disebelahku. Tarif 7.5 juta sehari semalam untuknya. Dia kini berada disisi kananku dengan senyum riang bagai anjing yang baru saja mendapatkan seonggok daging segar.
“oh ya…” aku menjawab singkat.
“Bening, kamu sangat cantik. Cantik sekali…” Dandy memujiku, aku tidak perlu GR, karna setiap pria yang melihatku akan berkata demikian, berdarah campuran Jawa, Pakistan dan Jerman membuatku menjadi seorang gadis yang cantik. Mata bulat khas timur tengah tidak bisa membohongi setiap mata yang memandang.
“Jangan memuji Dandy, aku merasa biasa-biasa saja..”
“Hanya pria buta yang tidak mengatakan kamu cantik..” Dandy tidak berkedip melihatku.
“Oh iya, kamu bisa langsung mentransfer ke rekeningku, seperti yang kamu tahu, aku tidak suka menerima cash..” aku langsung ke pokok pembahasan, Dandy tertawa kesetanan.
“tenang saja cantik, ayo sekarang check nominal rekening melalui sms banking di hpmu.” Reflex aku segera melihat dan ternyata benar. Isi rekeningku semakin gemuk saja. Aku tersenyum puas.


***

“Belum puas juga non,” Sinta menghardikku seraya memakan potongan buah yang kuiris besar-besar.
“Puas apa??” tanyaku.
“Morotin Oom-Oom senang. Pake nanya lagi.” Jawabnya lugas.
“Kalo belom kenapa, lagian loe juga kenapa sih ikut campur urusan gue, yang penting kan gue masih bisa nyenengin loe juga, lagian loe juga ikutan makan hasil keringat gue.” Aku berusaha membela diri. Tak lama setelah aku membela diri, sebuah pesan pendek masuk. Ajakan untuk dua jam disebuah hotel berbintang empat. Tarif empat juta, sayang kalau ditolak.
“Sorry ya Sin, gue musti bebenah, rejeki pantang ditolak.” Sinta menatapku dengan pandangan bego. Segera kubasuh tubuhku, kukenakan rok korduroi, kaos tanpa lengan yang dilapisi jaket jeans lusuh, syal serta booth sebatas lutut, rambutku kuikat begitu saja. Aku terlihat santai walau terkesan sedikit glamour. Aku harus berpenampilan menarik supaya bisa dilirik pelanggan. Tak ayal bukan Cuma empat juta yang masuk direkeningku, tapi juga sebuah jam tangan merk ternama dan handphone seharga enam juta mampir manis di tas pradaku. Indahnya hidupku. Aku memang tak tau diri, memang.
Keesokan harinya aku harus menemani seorang pria tampan yang memiliki gairah sex berbeda, ya dia gay. Aku diajaknya berpura-pura menjadi pacarnya disebuah pertemuan keluarga dengan bayaran dua puluh juta. Hanya berbalut gaun mahal dan sedikit berleha-leha dengan gampang pundi-pundi rupiah mampir manis direkeningku.
Berikutnya, seorang duda beranak tiga mengajakku ke sbuah resort dengan bayaran diatas sepuluh juta. Makin lama bayaranku semakin mahal. Sekarang aku tidak lagi tinggal dikamar kost depan gang, namun tinggal disebuah kostan elite dengan tariff empat juta perbulan.
Dua hari kemudian, oom-oom jetset yang kelebihan duit mengajakku liburan ke singapura, sebenarnya ini bukan liburan untuknya. Dengan dalih urusan bisnis dan ketemu klien dia mengelabui istrinya. Iming-iming sebuah sedan second seharga seratus tiga puluh lima juta pantang ditolak.
Seminggu setelah itu aku memutuskan untuk cuti, ya cuti. Aku juga butuh istirahat. Pekerjaan ini sungguh menguras tenaga, namun aku menolak untuk dikatakan sebagai pelacur. Aku lebih suka menyebut diriku sebagai penghibur. Entah dimana konotasi perbedaanya. Aku memutuskan untuk pergi kedokter dan memastikan bahwa aku “bersih” dari penyakit. Aku juga pergi kesebuah salon ternama dan melakukan perawatan dari ujung kaki sampai ujung rambut termasuk melakukan ratus.

Dua hari setelah melakukan perawatan aku meneriman order, kali ini pria berkebangsaan Turki yang memakai jasaku. Dia pria muda dan tegap dengan tinggi kira-kira 185 cm, wajah tampan dan tentu saja kantong tebal. Dia anak ekspatriat di negeri ini. one day aku dipakai olehnya. Namun sepertinya aku harus memilih-milih setelah ini. Pria ini menderita kelainan seks, sadisme seks. Dia memukuliku hingga babak belur, dan tersenyum puas saat aku menjerit kesakitan. Diberinya aku lima belas juta. Bayaran yang tidak terlalu mahal untuk lebam-lebam biru yang kini mendarat manis dipaha dan lenganku. Dan selanjutnya aku harus mengorbankan tiga jutaku untuk kembali merawat tubuh. Ya aku harus merawat mahal tubuhku, karena ini adalah bagian penting dalam bisnisku. Kadang aku pikir, aku butuh seorang manager. Ya, pikiran gila.


***

“balikin gak barang-barang yang dikasih laki gue ke elo.!!!” Seorang wanita berusia menjelang empat puluhan menghardik kasar masuk ke kamar kostku. Aku yang sedang makan menjadi kaget karena kehadirannya. Aku bingung, yang dimaksud dia siapa.
“trus masalahnya sama gue apa?? “ aku menjawab tenang.
“gara-gara loe laki gue jarang pulang ke rumah.” Dia semakin beringas menatapku. Perutnya terlihat menggelambir disana-sini. Wanita itu semakin brutal amarahnya, dia menarik rambutku dan menendang perutku. Aku berteriak-teriak minta tolong. Perutku terasa ngilu sekali.
“laki loe yang mana???” jujur aku tidak tahu pria mana yang dia maksud. Apa mungkin terlalu banyak pria yang tidur bersamaku. Oh Tuhan, apa yang terjadi padaku. Aku tidak kuasa melawannya, tenaganya yang begitu kuat mudah saja membuatku limbung, dipukulnya kepalaku dengan pot yang ada disebelah tempat tidurku, aku tidak merasakan sakitnya, yang kudengar hanya bunyi pecahan kaca dikepalaku, selanjutnya ada darah yang mengalir segar, hitam, pekat dan aku lupa.


***
Dua hari berselang, Sinta datang membantuku membersihkan luka yang ada didahiku. Aku menolak untuk dibawa ke dokter.
“Kenapa bisa sampai kayak gini sih???” Tanya Sinta sembari mengelus rambutku. Aku hanya menatap kuyu keluar jendela.
“Bening, apa tidak bisa mengambil jalan lain selain, maaf pelacur..” Sinta berkata sangat pelan saat menyebut kata pelacur. Cepat aku meliriknya. Sinta cepat-cepat membuang muka.
“kamu itu cantik…”
“sarjana dan bukan wanita murahan, itu kan yang mau kamu katakan. Aku bosan Sinta, bisa nggak sih untuk nggak menggurui aku. Ini pilihanku, jangan hakimi aku.” Aku memotong cepat omongan Sinta.
“Tapi kamu bisa manfaatin ijazah sarjanamu untuk mendapat pekerjaan lain yang lebih baik ketimbang pelacur. Pelacur itu hina Bening, kamu ngerti nggak sih, dimusuhin banyak orang.” Sinta tidak kalah bersuara keras.
“hey hey hey, jangan bilang semua orang. Buktinya banyak pria yang suka dengan kehadiranku. Aku itu bagai penyelamat dikehidupan rumah tangga mereka yang penuh dengan kepura-puraan. Mereka yang nyari aku, bukan aku. Kamu mesti tau itu.” Aku menunjuk kasar wajah Sinta.
“Terserah kamu mau ngomong apa. Setiap pelacur memang udah dibutakan hatinya.” Sinta terlihat sangat emosi.
“Apapun itu, apapun yang mau kamu katakan tentangku, jangan panggil aku pelacur, Sinta.”
“Pelacur tetap saja pelacur” Brakk. Sinta menutup pintu kamarku kerasa sekali. Kepalaku kembali terasa pening, entah aku harus berbuat apa. Yang jelas aku mau tetap menjadi Bening yang sekarang. Sinta telah meninggalkanku. Konsep pemikiran kita yang berbeda membuat sahabatku satu-satunya harus pergi meninggalkan aku. Namun untuk meninggalkan dunia yang aku geluti sekarang sangat tidak bisa. Aku sangat takut untuk menjadi miskin. Aku sangat takut untuk hidup menderita. Sudah cukup dua puluh tiga tahun aku hidup dalam kemiskinan. Tinggal bersama orang yang bukan orang tuaku dan membantu bekerja menjadi buruh kasar agar tetap bisa makan. Sulutan rokok yang dilakukan ayah angkatku masih membekas dilengan kananku. Bekas jahitan di belakang leherku juga masih bersisa. Haruskah aku mengulang penderitaan yang kualami dulu. Aku memang punya ijazah sarjana. Tapi untuk  mencari kerja di kota yang serba mahal ini sangat sulit. Aku sudah terbiasa hidup mewah empat tahun terakhir ini. hanya bermodalkan tubuh sexy dan wajah yang bak selebriti mengantarku menuju pundi-pundi kekayaan. Tidak, aku mau tetap menjadi yang sekarang. Biarlah aku kehilangan Sinta, tapi aku tidak mau kehilngan materiku. Butakah aku ?? namun aku tidak mau disebut pelacur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar