Satu juta lima
ratus ribu rupiah, tidak terlalu banyak malam ini, aku hanya menerima short
time. Tarif yang kukenakan per-jamnya satu koma lima juta. Aku dibooking
oom-oom berusia sekitar lima puluh tahunan, hanya lima belas menit dia berada
diatas tubuhku, selebihnya bisa kalian bayangkan, dia mendengkur pulas dengan
satu juta lima ratus diatas meja rias hotel. Segera kubenahi make up dan
baju kemudian beranjak keluar kamar
hotel. Malam ini kuputuskan untuk pulang cepat, badanku terasa penat sekali.
Jujur, sebenarnya aku sendiri merasa jijik dengan keputusan yang kuambil
sekarang, aku adalah musuh bagi ibu-ibu rumah tangga diseluruh dunia, aku
dilirik sebelah mata, aku dicerca semua orang. Aku hina, ya itulah diriku.
Aku berjalan
terseok sambil membenahi kembenku yang hampir melorot, kulirik jam tangan yang
bercokol indah dipergelangan kanan tanganku, pukul 02.00 dini hari. Gang masuk
di kostanku masih tampak begitu ramai oleh pria-pria yang kurang kerjaan yang
kerjanya hanya memetik gitar dengan alunan nada sampah. Suitan mereka kuanggap
angin lalu, sedikit towelan dipantatku adalah bayaran yang harus kulakukan
setiap kali lewat didepan mereka. Dulu waktu baru pertama kali lewat aku merasa
risih, tapi lama-lama aku terbiasa. Toh aku ternyata jauh lebih buruk daripada
mereka. Banyak dari mereka yang sudah kukenal, maka tak heran kalau aku bisa
sedikit melemparkan senyum nakal dibalik bibir yang kupoles dengan lipstick
sekelas J.Lo.
“Halo, iya saya
Bening. Wah maaf ya malam ini badan saya sedikit tidak enak, kalau lain kali
gimana???” tawarku dibalik sambungan telpon, ada yang mengajakku berkencan malam
ini, dia ingin memakaiku one day dengan tariff 6.5 juta. Lumayanlah, namun aku
menolaknya dengan alasan aku sedang sakit. Aku menyulut rokok putihku sambil
duduk dipinggiran meja yang menghadap ke jendela. Kostanku terletak di lantai
tiga. Jadi bisa dibayangkan suara-suara sumbang yang terdengar disetiap sudut
kamar jika aku melewati kamar mereka. Aku sudah beberapa kali minta pindah di
kamar bawah, namun si pemilik kost belum mengamini permintaanku. Mungkin dia
kira aku kekurangan uang. Tidak, aku tidak pernah kekurangan uang. Aku pelacur
dengan bayaran yang lumayan. Aku masih bisa membeli berbagai bentuk dompet
Bally, tas Louis Vitton ataupun selop Gucci yang harganya selangit. Aku juga
masih bisa membeli rok korduroi dengan merk-merk ternama. Sedikit bercerita,
dulu aku seorang penari di sebuah klub malam di kota ini. Kalian tentu tahu
pekerjaan apa yang kulakukan. Sekali dua kali aku menolak ajakan tidur mereka,
namun dengan iming-iming barang-barang branded hatiku luluh juga. Aku pertama
kali tidur dengan seorang anak pejabat di kota ini. Dengan bayaran sebuah
android, tas prada dan jam tangan bermatakan berlian. Pria itu sangat
tergila-gila padaku. Dia juga yang menyuruhku untuk berhenti menjadi seorang
dancer. Aku tinggal disebuah appartement bertarif dua puluh juta perbulan,
kemudian tinggal disebuah pemukiman elite yang dibelakang rumahnya kita
mempunyai halaman luas yang langsung menuju ke pantai. Namun kemakmuran itu
hanya bertahan dua tahun. Sang pria keburu menghembuskan nafas terakhir di
hisapan terakhirnya. Dia pemakai, itu yang kusesali. Mungkin menurut kalian aku
jatuh cinta, tidak. Aku tidak akan pernah jatuh cinta. Yang kubutuhkan hanya
materi, dan materi itu tidak butuh perasaan. Jahat, memang. Tapi bukannya hidup
itu perlu sedikit kelicikan, kemunafikan dan banyak kebohongan. Entah, arti
harafiah yang sesungguhnya juga aku tidak terlalu paham.
***
“Kamu hebat banget…”
ujar Dandy, cowok yang bekerja dibidang property ini kini ada disebelahku.
Tarif 7.5 juta sehari semalam untuknya. Dia kini berada disisi kananku dengan senyum
riang bagai anjing yang baru saja mendapatkan seonggok daging segar.
“oh ya…” aku
menjawab singkat.
“Bening, kamu
sangat cantik. Cantik sekali…” Dandy memujiku, aku tidak perlu GR, karna setiap
pria yang melihatku akan berkata demikian, berdarah campuran Jawa, Pakistan dan
Jerman membuatku menjadi seorang gadis yang cantik. Mata bulat khas timur
tengah tidak bisa membohongi setiap mata yang memandang.
“Jangan memuji
Dandy, aku merasa biasa-biasa saja..”
“Hanya pria buta
yang tidak mengatakan kamu cantik..” Dandy tidak berkedip melihatku.
“Oh iya, kamu
bisa langsung mentransfer ke rekeningku, seperti yang kamu tahu, aku tidak suka
menerima cash..” aku langsung ke pokok pembahasan, Dandy tertawa kesetanan.
“tenang saja
cantik, ayo sekarang check nominal rekening melalui sms banking di hpmu.”
Reflex aku segera melihat dan ternyata benar. Isi rekeningku semakin gemuk
saja. Aku tersenyum puas.
***
“Belum puas juga
non,” Sinta menghardikku seraya memakan potongan buah yang kuiris besar-besar.
“Puas apa??”
tanyaku.
“Morotin Oom-Oom
senang. Pake nanya lagi.” Jawabnya lugas.
“Kalo belom
kenapa, lagian loe juga kenapa sih ikut campur urusan gue, yang penting kan gue
masih bisa nyenengin loe juga, lagian loe juga ikutan makan hasil keringat
gue.” Aku berusaha membela diri. Tak lama setelah aku membela diri, sebuah
pesan pendek masuk. Ajakan untuk dua jam disebuah hotel berbintang empat. Tarif
empat juta, sayang kalau ditolak.
“Sorry ya Sin,
gue musti bebenah, rejeki pantang ditolak.” Sinta menatapku dengan pandangan
bego. Segera kubasuh tubuhku, kukenakan rok korduroi, kaos tanpa lengan yang
dilapisi jaket jeans lusuh, syal serta booth sebatas lutut, rambutku kuikat
begitu saja. Aku terlihat santai walau terkesan sedikit glamour. Aku harus
berpenampilan menarik supaya bisa dilirik pelanggan. Tak ayal bukan Cuma empat
juta yang masuk direkeningku, tapi juga sebuah jam tangan merk ternama dan
handphone seharga enam juta mampir manis di tas pradaku. Indahnya hidupku. Aku
memang tak tau diri, memang.
Keesokan harinya
aku harus menemani seorang pria tampan yang memiliki gairah sex berbeda, ya dia
gay. Aku diajaknya berpura-pura menjadi pacarnya disebuah pertemuan keluarga
dengan bayaran dua puluh juta. Hanya berbalut gaun mahal dan sedikit
berleha-leha dengan gampang pundi-pundi rupiah mampir manis direkeningku.
Berikutnya,
seorang duda beranak tiga mengajakku ke sbuah resort dengan bayaran diatas
sepuluh juta. Makin lama bayaranku semakin mahal. Sekarang aku tidak lagi
tinggal dikamar kost depan gang, namun tinggal disebuah kostan elite dengan
tariff empat juta perbulan.
Dua hari
kemudian, oom-oom jetset yang kelebihan duit mengajakku liburan ke singapura,
sebenarnya ini bukan liburan untuknya. Dengan dalih urusan bisnis dan ketemu
klien dia mengelabui istrinya. Iming-iming sebuah sedan second seharga seratus
tiga puluh lima juta pantang ditolak.
Seminggu setelah
itu aku memutuskan untuk cuti, ya cuti. Aku juga butuh istirahat. Pekerjaan ini
sungguh menguras tenaga, namun aku menolak untuk dikatakan sebagai pelacur. Aku
lebih suka menyebut diriku sebagai penghibur. Entah dimana konotasi
perbedaanya. Aku memutuskan untuk pergi kedokter dan memastikan bahwa aku
“bersih” dari penyakit. Aku juga pergi kesebuah salon ternama dan melakukan
perawatan dari ujung kaki sampai ujung rambut termasuk melakukan ratus.
Dua hari setelah
melakukan perawatan aku meneriman order, kali ini pria berkebangsaan Turki yang
memakai jasaku. Dia pria muda dan tegap dengan tinggi kira-kira 185 cm, wajah
tampan dan tentu saja kantong tebal. Dia anak ekspatriat di negeri ini. one day
aku dipakai olehnya. Namun sepertinya aku harus memilih-milih setelah ini. Pria
ini menderita kelainan seks, sadisme seks. Dia memukuliku hingga babak belur,
dan tersenyum puas saat aku menjerit kesakitan. Diberinya aku lima belas juta.
Bayaran yang tidak terlalu mahal untuk lebam-lebam biru yang kini mendarat
manis dipaha dan lenganku. Dan selanjutnya aku harus mengorbankan tiga jutaku
untuk kembali merawat tubuh. Ya aku harus merawat mahal tubuhku, karena ini
adalah bagian penting dalam bisnisku. Kadang aku pikir, aku butuh seorang
manager. Ya, pikiran gila.
***
“balikin gak
barang-barang yang dikasih laki gue ke elo.!!!” Seorang wanita berusia
menjelang empat puluhan menghardik kasar masuk ke kamar kostku. Aku yang sedang
makan menjadi kaget karena kehadirannya. Aku bingung, yang dimaksud dia siapa.
“trus masalahnya
sama gue apa?? “ aku menjawab tenang.
“gara-gara loe
laki gue jarang pulang ke rumah.” Dia semakin beringas menatapku. Perutnya
terlihat menggelambir disana-sini. Wanita itu semakin brutal amarahnya, dia
menarik rambutku dan menendang perutku. Aku berteriak-teriak minta tolong.
Perutku terasa ngilu sekali.
“laki loe yang
mana???” jujur aku tidak tahu pria mana yang dia maksud. Apa mungkin terlalu
banyak pria yang tidur bersamaku. Oh Tuhan, apa yang terjadi padaku. Aku tidak
kuasa melawannya, tenaganya yang begitu kuat mudah saja membuatku limbung,
dipukulnya kepalaku dengan pot yang ada disebelah tempat tidurku, aku tidak
merasakan sakitnya, yang kudengar hanya bunyi pecahan kaca dikepalaku, selanjutnya
ada darah yang mengalir segar, hitam, pekat dan aku lupa.
***
Dua hari
berselang, Sinta datang membantuku membersihkan luka yang ada didahiku. Aku
menolak untuk dibawa ke dokter.
“Kenapa bisa
sampai kayak gini sih???” Tanya Sinta sembari mengelus rambutku. Aku hanya
menatap kuyu keluar jendela.
“Bening, apa
tidak bisa mengambil jalan lain selain, maaf pelacur..” Sinta berkata sangat
pelan saat menyebut kata pelacur. Cepat aku meliriknya. Sinta cepat-cepat membuang
muka.
“kamu itu
cantik…”
“sarjana dan bukan
wanita murahan, itu kan yang mau kamu katakan. Aku bosan Sinta, bisa nggak sih
untuk nggak menggurui aku. Ini pilihanku, jangan hakimi aku.” Aku memotong
cepat omongan Sinta.
“Tapi kamu bisa
manfaatin ijazah sarjanamu untuk mendapat pekerjaan lain yang lebih baik
ketimbang pelacur. Pelacur itu hina Bening, kamu ngerti nggak sih, dimusuhin
banyak orang.” Sinta tidak kalah bersuara keras.
“hey hey hey,
jangan bilang semua orang. Buktinya banyak pria yang suka dengan kehadiranku.
Aku itu bagai penyelamat dikehidupan rumah tangga mereka yang penuh dengan
kepura-puraan. Mereka yang nyari aku, bukan aku. Kamu mesti tau itu.” Aku
menunjuk kasar wajah Sinta.
“Terserah kamu
mau ngomong apa. Setiap pelacur memang udah dibutakan hatinya.” Sinta terlihat
sangat emosi.
“Apapun itu,
apapun yang mau kamu katakan tentangku, jangan panggil aku pelacur, Sinta.”
“Pelacur tetap
saja pelacur” Brakk. Sinta menutup pintu kamarku kerasa sekali. Kepalaku
kembali terasa pening, entah aku harus berbuat apa. Yang jelas aku mau tetap
menjadi Bening yang sekarang. Sinta telah meninggalkanku. Konsep pemikiran kita
yang berbeda membuat sahabatku satu-satunya harus pergi meninggalkan aku. Namun
untuk meninggalkan dunia yang aku geluti sekarang sangat tidak bisa. Aku sangat
takut untuk menjadi miskin. Aku sangat takut untuk hidup menderita. Sudah cukup
dua puluh tiga tahun aku hidup dalam kemiskinan. Tinggal bersama orang yang
bukan orang tuaku dan membantu bekerja menjadi buruh kasar agar tetap bisa
makan. Sulutan rokok yang dilakukan ayah angkatku masih membekas dilengan
kananku. Bekas jahitan di belakang leherku juga masih bersisa. Haruskah aku
mengulang penderitaan yang kualami dulu. Aku memang punya ijazah sarjana. Tapi
untuk mencari kerja di kota yang serba
mahal ini sangat sulit. Aku sudah terbiasa hidup mewah empat tahun terakhir
ini. hanya bermodalkan tubuh sexy dan wajah yang bak selebriti mengantarku
menuju pundi-pundi kekayaan. Tidak, aku mau tetap menjadi yang sekarang.
Biarlah aku kehilangan Sinta, tapi aku tidak mau kehilngan materiku. Butakah
aku ?? namun aku tidak mau disebut pelacur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar