Matahari pagi ini tidak bersinar
terlalu terik seperti biasanya. Mungkin akibat hujan badai semalam. Aku
mengusap kaca jendela kamarku yang berembun. Memperhatikan anak-anak sekolah
yang berlalu lalang setiap paginya. Aku merentangkan tangan selebar-lebarnya
dan menghirup udara pengab yang selalu saja kutemukan setiap pagi, merapatkan
kancing jaket yang kukenakan. Aku berpindah menuju sisi tempat tidur. Masih
berantakan dan beberapa buku tergeletak disana. Berpindah pandangan di meja
sudut ruangan mungilku. Ada sekotak kue sisa semalam, kopi dingin dan beberapa
puntung rokok yang tentu saja juga sisa. Masih tersisa satu jam lagi untuk aku
berangkat ke kantor.
Tok tok tok tok… Ada yang
mengetuk pintu, dari nada ketukannya aku hafal benar siapa yang mengetuk.
Rachel, wanita yang setia mendampingiku enam bulan terakhir ini. Segera aku
berjalan untuk membukakan pintu untuknya. Masih bermalas-malasan.
“Pagi Sayaaaanngg….” Sapa Rachel
penuh antusias. Dipeluknya tubuhku dan dengan segera dia menghambur kekamarku.
Seperti biasa,
“Iiiihhh jorok banget, belum
mandi. Kok belum mandi, ngk ngantor??” Tanya Rachel sambil sibuk merapikan
tempat tidurku. Aku memang kost di kota ini.
“Ngantor, tapi ntar lagi aja.
Kamu gak kerja??” Tanyaku sambil berjalan kearahnya.
“Males, hari ini aku ijin sakit.
Aku kangen kamu..” Ucapnya tulus kepadaku.
“Ooohh jadi itu alasannya sampe
ngk ngantor…” Kuusap lembut kepalanya, tanpa menunggu aba-aba dia segera
menarikku duduk ditepi tempat tidur.
“Kita jarang ketemu akhir-akhir
ini, deadline kamu sangat padat. Berita-berita busuk itu pastinya yang bikin
kamu jauh dari aku. Oh iya, hari ini ada liputan??” Tanyanya sembari merebahkan
diri ditempat tidur. Rachel yang telah membuka baju dan hanya memakai bra dan
rok mini membuat libidoku naik.
“Iya, liputan pertandingan bola.
Dan meliput kamu.” Segera aku menunduk dan mencium lembut bibirnya. Ternyata
Rachel menanggapinya beda, disambutnya bibirku dengan kuluman hebat dan tarikan
pelukan ke tubuhnya. Hawa panas tubuh Rachel dan udara dingin pagi ini
membuatku langsung mengerti akan maunya dia. Kuusap lidahku dibibir mungilnya.
Kukerahkan tangan kiriku untuk meraba lehernya. Rachel mendesah pelan. Sambil
tetap mencium bibirnya, kupindahkan tanganku menuju payudaranya, sekali
hentakan kecil, bra yang dikenakannya lepas dari kaitan.
“Beri aku lebih Adam..”
Pinta Rachel penuh harap, belum sempat
kujawab panggilan telepon mengusik kami. Kulirik dan ternyata telepon dari
kantor.
“Maaf sayang aku harus liputan.”
Kukecup mesra kening Rachel dan kudapati kekecewaan dimatanya. Apa boleh buat,
aku datang di kota ini untuk bekerja.
+++
“Bisa temenin gue makan siang gak
Dam…” Ucap Riri cepat, Riri ini editor di liputan sport. Artikel yang kupegang,
alhasil aku sering sekali menghabiskan waktu bersama Riri, cewek tomboy yatim
piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Dia manis dan juga mandiri. Sampai
sekarang dia tidak tahu dimana orang tuanya. Entah meninggal atau masih hidup.
Istimewanya dia tidak pernah sedih saat menceritakan masa lalunya kepadaku, entah
disembunyikan atau memang dia terlalu menikmati hidup. Yang pasti, dia terlalu
pintar untuk menyembunyikan perasaannya.
“Hey, mau nggak, malah nglamun”
Bentak Riri.
“Oh iya, boleh. Mau makan dimana
emangnya??” Tanyaku sambil mematikan laptopku.
“Di deket kantor aja, artikel loe
ancur banget, bikin banyak kerjaan gue aja. Loe kenapa sih??” Tanyanya sembari
menjajari langkahku yang agak cepat, sadar akan ketertinggalannya kuperlambat
langkahku.
“Gak ada, Cuma akhir-akhir ini
aku kangen Ibu sama adek gue di kampung.” Aku memelankan suara, takut
teman-teman yang berjalan bergerombol mendengar omongan kami.
“ Ooohh tengokin dong, “ Kata
Riri sambil menepuk pundakku. Aku tersenyum miris mendengarnya. Tidak mungkin
aku pulang kampung dengan uang yang pas-pasan untuk bayar kost dan makan.
“ Gue mau kok nemenin loe
jengukin nyokap loe di kampung “ Sahut Riri penuh antusias, padahal aku tidak
pernah berinisiatif untuk mengajaknya. Kubiarkan saja dia terus berceloteh
bahagia sembari menerawang.
“Loe tau gak Dam, gue belum
pernah punya Ibu, gue pengen banget punya keluarga,.” Ucapnya sambil
menerawang, langkah kami sudah terhenti di warung tenda biru sebelah kantor.
Kami makan soto daging.
“ Keluarga gue bukan orang kaya
Ri, emang loe mau?? Ibu gue tiap harinya Cuma ngangon bebek ma nanem sayur. Oh
iya, gue punya adik cowok namanya Jibril. “ aku setengah menjelaskan buat Riri.
“ hei, emang masalah buat gue,.
Gue pengen nanem sayur ma ngangon bebek, sama nyokap loe pastinya, boleh ya,
pliiiiiiiiiiiisssss”. Riri merengek persis anak kecil yang minta dibelikan
mainan.
“Oke, loe boleh ikut, tapi janji
gak boleh ngeluh ya, kampung gue jauh banget.” Aku mengamini permintaannya.
“Janji, makasi yaaa…” Refleks
Riri memelukku, hal yang sering dilakukannya kalau aku mengabulkan permintaannya
atau mau dimintai tolong olehnya. Ya Riri.
+++
“Kok buru-buru pulangnya, ini kan
long week end, kita juga jarang kan jalan bareng..” Rachel tampak terkejut
dengan niat kepulanganku. Dia sibuk mengamati aku yang sedang mengemasi
pakaian.
“Bisa tolong ambilin ransel??”
Pintaku tanpa menggubris permintaannya.
“Dam kok nggak dijawab??” Rachel
setengah membentak.
“Apa sih??? Aku kangen banget
sama nyokap, kamu bisa ngerti kan???” Aku melengos kesal menatapnya, Rachel
selalu begitu. Dia berjalan memelukku. Huuffftt ini yang aku tidak sanggup.
“ Aku boleh ikut ya?? “ Pintanya
penuh harap. Oh My God, kalau Rachel ikut, apa dia mau menerima keluargaku,
selama ini dia tidak bertanya tentang latar belakang keluargaku. Aku juga tidak
pernah menceritakan kepadanya. Tidak, dia tidak boleh ikut.
“ Kampungku jauh banget, emang
kamu sanggup??” Tanyaku.
“ Mmmmmhh aku janji nggak bakalan
ngrepotin..” Rachel berucap ragu. Dan
aku tahu, wanita seperti Rachel tidak akan sanggup melihat sisi lain
keluargaku.
“ Nggak, kamu nggak boleh ikut..”
Jawabku ketus.
“ Kamu pulang ya sekarang, aku
udah mau pergi..” usirku.
“ Tapi aku mau ikut??? Jangan
bilang kalau kamu pergi sama Riri. Berapa kali aku bilang, cewek tomboy itu
suka sama kamu. Kamu ngerti nggak sih…?? “ Riri berteriak membuatku semakin
meradang.
“ Aku tidak ada hubungan sama
sekali dengan Riri, kecuali hubungan kerja dan sahabat. Tidak lebih !! “
“ Trus kenapa kamu nggak ngajak
aku?? Aku juga pengen dikenalin sama keluargamu. Atau kamu memang nggak mau
ngenalin aku sama keluarga kamu “ Rachel terus saja mendesakku untuk
mengajaknya. Aku tetap tidak bergeming. Aku yakin Rachel tidak akan bisa
menerima keluargaku, keluargaku yang udik, keluargaku yang kampungan.
“Mending kamu pulang, aku udah
mau berangkat.” Kataku seraya membukakan pintu untukknya. Seperti mengusir
memang, namun memang aku harus segera pergi, aku Cuma punya sedikit waktu dan
aku tidak mau dihalang-halangi oleh Rachel.
“Oke, aku pergi!!! Selamat
bersenang-senang dengan Ririmu itu!!” Brakkkk.. Rachel membanting pintu dengan
amarah yang tertahan.
+++
Setelah melewati lima jam
perjalanan, akhirnya aku dan Riri sampai juga di kampung halamanku. Namun kamu
belum bisa menarik nafas lega, setidaknya masih tiga kilometer lagi perjalanan
yang harus ditempuh dengan jalan kaki. Pemandangan kebun teh yang terhampar
dikiri kanan kami membuat Riri seperti kesetanan. Berkali-kali dia minta difoto
menggunakan kamera pocketnya. Ahhh Riri, selalu bisa membuatku tersenyum.
“Dam, coba ya kalo kita bawa
kamera kantor, pasti lebih keren..” Kata Riri setengah menyesal.
“Udahlah ini juga udah cukup,
minum nih. Loe gak haus apa..” Aku menyerahkan sebotol teh yang kami bawa tadi
untuknya.
“Nggak deh, gue pengen nyicipin
teh hangat asli buatan nyokap loe. Asli, disini dingin bangeeeettt.. brrrrr”
Riri merapatkan jaketnya. Aku cuma bisa tertawa melihatnya. Riri banyak
berceloteh tentang kehidupannya, termasuk cerita yang selalu direplay berulang
kali untukku. Selalu gagal dalam berpacaran. Dia sempat ingin berubah menjadi
cewek yang lebih feminim, dicobanya berulang kali dan selalu gagal.
“Ri, loe liat gak rumah diujung
sana. Itu rumah gue…” Riri melongok kegirangan. Tanpa menunggu aba-aba dia
segera berlari menuju rumahku. Rumah berdinding anyaman bambu dan beratapkan
genteng tanah. Rumahku juga berada diantara perkebuban teh. Namun, banyak juga
tumbuhan lain.
“Assalamualaikuuuuuuuummmm”
Teriak Riri, aku mengekor dibelakangnya. Tak lama berselang muncul seorang ibu
berusia lima puluh lima tahun dan seorang pria berusia lima belas tahun. Ya
mereka adalah ibu dan adikku.
“Adam, kamu pulang nak. Kok nggak
telpon Ibu dulu.” Ibu menyambutku gembira, pandangannya juga tak lepas dari
Riri.
“Maaf Bu, ini juga mendadak
pulangnya. Hey boy, apa kabar??” Sapaku kepada adik lelakiku satu-satunya.
“Baik kang. Kang ini siapa??
Calon ipar Jibril ya???” Tanya Jibril antusias. Ibu menyenggol Jibril
menggunakan sikunya.
“Ibu, Jibril. Perkenalkan nama
saya Riri. Teman kerjanya Adam. Riri boleh tinggal disini kan Bu??” Riri bisa
sopan juga ternyata, ucapku membathin.
Mata Ibu membeliak lebar, “Waahh
tentu saja Nak, nanti kamu nempati kamar Adam saja. Soalnya Cuma ada tiga kamar
dirumah. Nanti biar Adam tidur sama Jibril. Eh ayo masuk, Ibu buatin teh
hangat. Nanti mau Ibu masakin apa? Suka ikan mujair yang digoreng kering pake
lalapan?? Di rumah Ibu nggak pernah ada anak perempuan. Satu-satunya perempuan
ya cuma Ibu ini…” Ibu terlihat bersemangat sekali dengan Riri. Aku sampai
menggeleng-geleng dibelakang. Riri juga, tampak sekali dia bahagia. Terlihat saat
mereka berjalan berpelukan. Aku mengekor dibelakang sambil membawa tas Riri.
+++
“Udah selesai sarapannya??”
tanyaku pada Riri yang sibuk mengamati kolam ikan kecil dibelakang rumahku.
Suasana dingin pagi ini membuat Riri memakai sarung dua lapis.
“Udah, eh loe gak dingin apa cuma
pake singlet kayak gitu.”Riri menatapku heran. Dari mulutnya terlihat kepulan
asap tipis, tanda dia memang kedingingan. Daerah tempatku berasal memang sangat
dingin.
“Nggak, mandi gih bau.”
“Gue gak mau mandi…”
“Jorok banget”
“Biarin…”
“Pantesan gak ada yang mau sama
loe…”
“Ada ..”
“Siapa??”
“Loe!!!” Riri menatapku tajam.
……..
“hahahahahaha”
Selanjuntnya jangan dibilang apa
yang kami lakukan. Banyak hal, mengambil air di pancuran, membantu Ibu berkebun
dan juga menggembala bebek. Riri juga sangat akrab dengan Jibril. Apalagi Ibu,
tidak bosan-bosannyabeliau mengajari Riri memasak. Hal yang sangat dibencinya,
namun kali ini semua rasa yang dimilikinya lenyap. Ibu begitu sabar menuntun
Riri yang selalu takut terpercik minyak panas. Bahkan aku dianggap tidak ada
oleh Ibu. Saking bahagianya beliau. Beliau selalu meluangkan waktu menyisir
rambut Riri dan membantu mengepangnya. Belum pernah aku melihat Ibu sebahagia
ini setelah kepergian Abah. Seandainya saja Rachel yang kubawa kesini, apa Ibu
akan sebahagia ini?? aku ragu, Rachel tidak bisa membaur seperti Riri. Dan
tentu saja Rachel akan jijik berkebun dan menggembala bebek. Beruntung aku
membawa Riri untuk Ibu, meskipun kami hanya berteman biasa.
+++
Dua hari terlewatkan, selesai
sudah liburan kami. Ibu tampak sedih melihat kami berkemas. Begitu juga dengan
Jibril. Mereka tampak berat melepas kami. Riri terlihat sangat sedih, tidak
mustahil karena dia telah menjalin hubungan emosional yang dekat dengan Ibuku.
Dua hari ini dia menemani Ibu memasak, memetik sayur dan juga menggembala
bebek. Riri, aku kagum padanya. Tuhan, semoga ini cuma kagum biasa. Aku takut
jatuh cinta padanya. Aku punya Rachel yang setia menungguku disana. Selanjutnya
perjalanan kami terasa panjang, kami sama-sama membisu. Aku sibuk menerka-nerka
apa yang dipikirkan Riri sebelum dia terlelap dibahu kiriku.
+++
Aku terbangun dengan kondisi
badan yang remuk redam. Perjalanan panjang kemarin menyisakan lelah yang
membuatku enggan bangun dari tempat tidur. Saat pulang ke kost, kudapati Rachel
telah berada disana. Beruntung Riri sudah kuantar pulang terlebih dahulu ke
kostannya. Semalam kami tidur bersama dan sekarang aku masih mendapatinya tidur
pulas disebelahku. Aku beranjak dari tempat tidur dan mencari apa saja yang
bisa kukenakan. Berjalan ke pojok ruangan dan mengambil sebatang rokok,
menyulutnya. Nikmat.
“Sayang udah bangun..” Rachel
sudah bangun rupanya.
“Iya, mau kerja kan..” jawabku
datar.
“Aku disini aja ya…” pintanya
lirih.
“Ntar dicari Mama loch…” Aku berusaha
mencegahnya.
“Mama lagi keluar kota…”
“Terserah kamu deh…” Aku menyerah
lagi untuk kesekian kalinya. Melihatnya Rachel tersenyum manja memancing hasrat
kelaki-lakianku. Tak pelak aku menghadiahinya, lagi.
+++
“Aku hamil, Adam” Rachel terisak diantara
ucapannya. Aku seperti mendengar malaikat pencabut nyawa sedang berlari
kearahku.
“Berapa bulan??” Aku menarik
nafas penuh beban.
“Dua bulan..”
“Bukannya selama ini aku selalu
pakai pengaman??” Aku memprotes, tidak pernah sekalipun aku tanpa pengaman
dengannya.
“Iya,..”
“Trus kenapa bisa hamil, aku
yakin nggak bocor…” Aku mulai curiga.
“Maaf Adam..”
“Jelaskan semua ini Rachel..”
Suaraku mulai meninggi.
“Ini bukan anak kamu. Maaf Adam,
aku nggak sengaja. Ini semua waktu aku mabuk..”
“NASTY!!!!!” Aku memaki kuat.
“Maafin aku Adam…” Rachel
menangis sejadi-jadinya. Entah kenapa aku menjadi sangat jijik dengan wanita
ini. Semua rasa sayang itu seolah sirna dengan sekejab. Semua kepercayaan itu
musnah. Aku kira dia akan menjadi yang terakhir buatku. Terjadi dia tidak
berbeda jauh dengan pelacur. Rasanya pelacur lebih terhormat ketimbang Rachel.
Aku patah hati. Aku kecewa.
+++
“Sabar ya Adam. Terkadang manusia
memang buta…” Riri berusaha menguatkanku. Wanita ini selalu ada disaat aku
terpuruk. Matanya berkilat cepat, aku tahu dia juga sangat marah mendengarnya.
Tiba-tiba dia menarik tubuhku lekat dengannya. Mengelus rambutku dan mengatakan
bahwa dia akan selalu ada untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar