Kamis, 10 Mei 2012

KARENA WANITA INGIN DIMENGERTI

“ Aku selalu sedih jika mengingatnya. Hubungan kami sudah menginjak usia tiga tahun. Banyak hal yang telah kami rencanakan. “ Matanya menerawang jauh saat menceritakan isi hatinya kepadaku. Kulihat matanya sedikit berkaca-kaca. Kopinya tinggal setengah. Aku ikut khawatir melihatnya.
“ Dia memberikan banyak hadiah padaku. Dia juga banyak memberikan janji padaku. Dia juga memberikan ini..” katanya lagi sambil menunjukkan jari manis di tangan kirinya. Aku melihat ada cincin manis melingkar disitu. Aku yakin itu cincin tunangan atau apalah namanya. Entah aku tidak tahu.
“ Kalian bertunangan?? “ tanyaku datar.
“ Kami belum berani berkomitmen. Perbedaan itu membuat kami ragu untuk melangkah lebih jauh. Kamu tahu, dia sangat mencintaiku. Aku juga begitu kepadanya. Dan aku juga yakin, cintanya tidak pernah setengah-setengah kepadaku…” kali ini air matanya mulai mengalir. Aku tetap setia menjadi pendengar setianya. Kuulurkan sebuah tissue yang kuambil dari dalam tasku. Aku mencoba menutupi wajahnya dari pandangan setiap orang. Café ini tidak cukup sunyi untuk acara drama mellow seperti ini.
“ Perbedaan?? Apa maksudnya?? Bukankah kalian saling mencintai ??” Tanyaku semakin menyelidik. Aku semakin penasaran dengan jalan ceritanya. Lima tahun tidak bertemu membuat banyak cerita terkumpul diantara kami. Dia menghela napas panjang diterakhir pertanyaanku untuknya. Aku menangkap ada beban berat disudut matanya. Mata itu dulu tampak begitu ceria di balik senyum tawanya yang lepas. Perbedaan jelas sekali terpancar sekarang. Sendu dan lemah.
“ Kami memang saling mencintai. Tiga tahun bukan waktu yang singkat…” Kali ini kedua tangannya menengadah menopang dagunya. Keningku berdraperi melihatnya seperti itu. Aku menggenggam tangannya tanpa mengucap apapun. Kuanggukkan kepala sebagai tanda aku mau mendengar segala keluh kesahnya.
“ Ini begitu berat buatku. Merelakkan cintaku harus pergi tanpa aku sanggup untuk menahannya. Keyakinan ini membuat kami berpisah. Dia tidak bisa mengikutiku. Begitu pula denganku. Banyak yang menyarankan agar kami menikah di Singapura. Keluarganya juga mengatakan seperti itu kepadaku. Tapi aku tidak bisa seperti ini…” Suaranya melemah seiring derai air matanya yang semakin deras.
“ Nerra, maaf aku baru tahu… Maaf aku tidak pernah menghubungimu…” Aku menyesal karena harus pergi lama meninggalkan kota ini. Kota dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Sedemikian hebatnya hingga pada saat aku lulus SMA, aku harus pergi dari kota ini dan pergi menimba ilmu di kota lain. Begitu terus hingga lima tahun berlalu dan aku telah bekerja di kota tersebut.
“ Dan kamu tahu, setelah kami memutuskan untuk tidak meneruskan hubungan kami, secepat itu pula dia memutuskan untuk menikah dengan wanita lain. Cukup cepat, dalam tiga minggu dia langsung memutuskan menikah dengan orang lain. Begitu cepatnya dia melupakan aku. Dia tidak tahu kalau aku disini berjuang mati-matian untuk tetap tegar menerima keputusan ini…” Dadanya naik turun menahan emosi yang semakin melebur. Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Pukul 15.45.
“ Dia menikah dengan siapa??” Tanyaku memburu.
“ Seorang gadis yang berusia sangat muda, baru berusia 19 tahun. Hasil perjodohan keluarganya, dan dia menerimanya…” Suaranya semakin melemah. Bulir-bulir air matanya tidak tampak lagi. Namun hasil tangisan itu menyisakan sembab yang tidak bisa disembunyikan begitu saja. Beberapa pasang mata tampak mengawasi kami. Mereka pasti berpikir kami pasangan lesbi yang sedang gundah memikirkan hubungan kami.
“ Dia bukan jodoh kamu Nerra. Lupakan dia, dia tidak pantas untukmu…” Kataku berusaha menghiburnya. Aku tahu apapun yang kulakukan tidak akan menghasilkan hal baik untuknya. Namun paling tidak aku berusaha.
“ Tolong antar aku pulang…” Dia segera meraih tas tangannya dan keluar dari café. Aku memanggil pelayan dan meminta bill kepadanya.

***

Pagi ini aku bangun sedikit terlambat. Pertemuanku kemarin dengan Nerra membuatku bergidik ngeri. Aku dulu juga pernah mengalami hal yang sama. Merasa tersakiti dengan kehadiran seorang pria. Aku terlalu menganggapnya sempurna hingga aku mengacuhkan setiap orang yang berusaha mengatakan hal buruk tentangnya. Aku terpuruk dan tidak bisa melakukan hal apapun selain memikirkannya. Walaupun kejadian itu telah terjadi setahun yang lalu. Namun aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Aku ingat dengan jelas bagaimana cara dia menyakitiku.
Dan sekarang aku telah menjalin hubungan yang baru dengan seorang pria yang berusia sama denganku. Andreast namanya. Handphoneku berbunyi. Pacarku menelpon, ya aku telah kembali menjalin hubungan selama empat bulan dengannya. Dia yang sanggup mengubur kenangan buruk masa laluku.
“ Morning Dear…” Sapaku ramah.
“ Morning, udah bangun?? “ Tanyanya di ujung sana. Suaranya masih berat, mungkin dia baru bangun.
“ Udah, ini lagi minum kopi..” jawabku renyah. Aku merindukannya. LDR membuat kami harus sering berkomunikasi.
“ Jangan terlalu banyak minum kopi. Ingat riwayat penyakitmu..” Dia selalu mengingatkan aku tentang segala hal termasuk riwayat penyakitku yang buruk. Hebatnya, dia tidak pernah bosan untuk itu.
“ Iya, kamu baru bangun..??” tanyaku cepat, buru-buru aku mengalihkan pembicaraan kami agar dia tidak terlalu khawatir. Aku menyukai caranya memperlakukanku. Aku merindukan pelukan lembutnya saat kami sama-sama baru membuka mata. Kecupan hangat di keningku. Obrolan kami mengalir ringan pagi ini. Dua belas menit di pagi ini cukup memompa semangatku. Aku kembali mengingat Nerra. Sahabat terbaikku itu sedang mengalami masa sulit dalam hidupnya. Setelah beberapa kali gagal menikah membuat dia urung dekat dengan pria. Aku membereskan tempat tidurku dan beranjak menuju kamar mandi. Kuputuskan untuk menemaninya hari ini.

***

“ Aku sudah tidak sanggup lagi. Keluargaku selalu menuntutku untuk menikah. Tapi mereka tidak pernah mau tahu seperti apa yang kurasa saat ini. Yang mereka tahu, begitu banyak lelaki di dunia ini dan begitu banyak wanita yang dengan mudah mendapatkan jodohnya. Tapi itu tidak berlaku buat aku Nina, Ibuku terus saja mendesakku untuk menemukan jodohku…” Dia bercerita sambil memeluk guling. Kamar kostannya terlihat berantakan. Aku mendengarkan sambil membenahi baju-baju kotor yang berserakan di penjuru kamar.
“ Kapan terakhir kamu pulang?? “ Tanyaku sambil mengulurkan segelas air putih untuknya. Dadaku ikut sesak mendengarnya. Ooohhhwwwff tak tahukah kamu Nerra kalau keluargaku juga melakukan hal yang serupa buatku.
“ Dua bulan yang lalu. Aku hanya mengirimi uang setiap bulan kepada Ibuku. Selebihnya aku tidak sanggup untuk pulang. Aku tidak sanggup melihat mata keluargaku yang selalu saja menyiratkan pertanyaan yang sama. Tanpa mereka bertanya pun aku tahu akan kemana arah pembicaraannya…” Nerra meneguk cepat air putih yang aku berikan padanya. Dia kehausan rupanya. Aku masih sibuk membenahi isi kamarnya. Ini sengaja kulakukan agar aku tidak terlalu tampak khawatir padanya. Tentu Nerra tidak menginginkan hal itu. Dia benci jika aku iba padanya.
“ Nerra, sepertinya lebih baik kamu mandi. Tampangmu terlihat sangat kusut. Setelah mandi kamu boleh menceritakkan segala hal yang ingin kamu ceritakan kepadaku…” Aku mengalihkan pembicaraan dengan menyarankannya untuk mandi.
“ Ide yang bagus…” Nerra tersenyum simpul sambil mengambil handuk baru dari dalam lemarinya. Aku menghela nafas panjang sambil menatap punggungnya yang menjauhiku menuju kamar mandi. Aku melangkahkan kaki menuju sisi jendela. Kamar kost Nerra berada di lantai dua dan menghadap jalan raya. Aku memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Kusisir pandanganku ke segala penjuru kamar Nerra. Mataku menangkap sebuah bingkai foto yang tidak terpasang sebagaimana mestinya. Tertelungkup. Cepat aku beranjak dan melihat apa isinya. Duh Gusti. Nerra masih menyimpan fotonya bersama Donny, mantan kekasihnya. Penasaran aku membuka laci meja riasnya. Tuhanku, aku melihat banyak foto disitu. Foto tentang mereka berdua. Melihatnya hatiku ikut bergetar. Sebagai sesama wanita, aku bisa ikut merasakan penderitaannya. Ponselku berbunyi. Pacarku mengirimiku pesan, dari pagi aku belum mengabarinya. Tentu dia mengkhawatirkanku.

***

Bunyi gaduh diluar membuatku terbangun cepat dari tidur siangku. Liburanku kali ini kurang menarik. Aku mendengar suara piring yang pecah. Bukan, ini bukan suara piring yang jatuh dan pecah. Ini suara piring yang sengaja dibanting. Pecahannya berulang kali. Aku cepat keluar kamar dan mengikat rambutku sekenanya. Suara ini berasal dari sebelah kiri rumahku. Tepatnya di rumah Mbak Nini. ‘ada apa ini??’ batinku.
“ Mbak Ninaaa tolong Mama…” Suara si kecil Hesty berteriak-teriak memanggilku. Langkah kaki kecilnya menghambur ke pelukanmu. Dia menangis sampai matanya sembab. Dia bercerita bahwa Mamanya dipukuli oleh Papanya. Masya Allah, kenapa bisa sampai seperti ini. Sambil menggendong Hesty aku berjalan pelan ke arah rumah Mbak Nini. Dia menangis terisak disudut ruang tamu. Suaminya baru saja keluar menggunakan mobil. Disudut pelipis kirinya tampak memar dan mengeluarkan darah. Bibir bawahnya tampak pucat dan membiru. Ada darah segar yang mengalir dari bibir tersebut. Buru-buru aku meletakkan Hesty yang sedang menangis di sofa ruang tamu. Dengan sekali gerakan aku menuju rumahku dan mengambil kotak obat. Sesampainya dirumah Mbak Nini aku segera mengambil air panas yang kuambil dari dispenser. Ku obati lukanya. Kupeluk dia hangat dan mengatakan bahwa ini semua telah berakhir. Papanya Hesty sudah keluar menggunakan mobil. Kugenggam erat tangannya dan kupapah dia menuju kamar tidur Hesty. Setelah dirasa agak tenang dia mulai bercerita padaku. Sementara Hesty telah tertidur lelap, mungkin dia kecapaian karena menangis.
“ Mas Haris selalu pulang lewat dari jam 1 malam Nina. Dia selalu marah jika aku menegurnya. Dia selalu bilang ini semua urusan kantor. Dia tidak pernah lagi mengecup lembut keningku sebelum berangkat kerja. Ciumanku pun selalu ditolaknya. Hesty menjadi takut dengan Papanya. Dia pernah dibentak kuat sewaktu Hesty minta diajari mengerjakan pekerjaan rumahnya. Dia juga selalu menolak masakan yang aku buat. Dia selalu marah jika dia pulang dan aku telah tertidur lelap. Dia maunya aku tetap menunggu dalam keadaan yang bugar. Kamu tahu Nina, itu tentu saja tidak mungkin. Seharian aku juga sibuk bekerja. Puncaknya semalam. Dia pulang pukul 2 pagi. Aku menegurnya, dia marah dan memakiku habis-habisan. Rambutku digunting paksa dan aku dipukul menggunakan tongkat base ball. Dia mengusirku dari rumah, namun aku menolak. Pagi tadi dia meminta semua ATM ku, aku menolak. Tapi hasilnya apa, dia membanting apa saja yang ada dirumah ini. Hesty pun kena tamparan darinya. Aku tidak sanggup lagi Nina…” Mbak Nini bercerita panjang kepadaku. Aku sangat miris mendengarnya. Kurengkuh dia dalam pelukanku. Aku ikut menangis. Liburanku kali ini diisi dengan banyak hal yang membuatku tercengang dan tersadarkan, bahwa aku masih jauh lebih beruntung ketimbang mereka.
“ Mbak, apa Mbak tidak pernah menyelidiki seluk beluk Mas Haris sepulang beliau kerja…” Tanyaku hati-hati, aku takut terlalu mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
“ Aku sudah menanyai teman-teman kantornya. Dan jawaban mereka semua sama. Mas Haris selalu pulang tepat pukul lima sore. Aku yakin dia punya wanita lain selain aku…” Air mata Mbak Nini mengalir deras, lagi. Dalam hati aku memaki habis-habisan suami dari tetanggaku ini. Kenapa kalian para lelaki tidak pernah puas hanya dengan satu wanita. Jauh disudut hatiku aku berdoa, semoga pacarku jauh lebih baik ketimbang mereka. Mereka semua yang pernah menyakitiku, juga yang pernah menyakiti para wanita didunia ini.
Mbak Nini meneruskan ceritanya. Aku hanya bisa memberi saran sekedarnya. Ingin sekali aku menyarankannya untuk bercerai, namun dari ceritanya Mbak Nini dia masih sangat mencintai ayah dari Hesty tersebut. Dan dari semua ceritanya, terlihat sekali bahwa dia ingin tetap bertahan di kehidupan rumah tangganya. Walau untuk itu semua harus dibayar dengan memar dan lebam.

***
Ini hari terakhirku liburan. Aku mengirim pesan kepada Nerra berpamitan dan mengucapkan salam perpisahan. Semalam kami bersama-sama. Sepertinya dia sudah jauh lebih tegar ketimbang tujuh hari yang lalu, sewaktu aku bertemu pertama kali dengannya. Hebatnya, dia juga jauh lebih religious. Semoga dengan kejadian ini dia tetap bisa bertahan seperti ini. Dia bilang, dia akan menikah. Hanya dia satu-satunya dalam keluarga yang belum menikah. Ibunya semakin tua, menyarankan dia menikah dengan anak dari kolega keluarganya. Dia belum pernah bertemu dengan lelaki tersebut, namun hebatnya dia menyetujui hasil perjodohan Ibunya. Aku bertanya apakah dia yakin dengan jawabannya. Dia menjawab bahwa cinta akan datang seiring berjalannya waktu. Aku memeluknya erat, aku berjanji akan datang dihari pernikahannya. Tuhanku, semoga ini yang terbaik untuk Nerra.

***


Lamunanku terhenti oleh suara berat yang sangat kukenal. Ya dia pacarku. Hari ini aku menikmati senja dengannya di cafe bernuansa outdoor yang ada di kota tempatku bekerja. Kami menunggu saat sambil menikmati makan malam yang sebetulnya terlalu sore untuk menikmatinya. Baru saja aku menceritakkan banyak hal untuknya sewaktu aku liburan kemarin. Sore ini dia terlihat macho dengan kemeja hitam dan jeans belel kesukaannya. Jambangnya sengaja dibiarkan tumbuh liar. Wajahnya terlihat lebih eksotik. Aroma bullgari menyeruak menembus angin sore dan menyelusup lembut ke rongga pernapasanku. Dia baru saja menerima telepon.
“ Dari siapa..?” Tanyaku tanpa berusaha menyelidik.
“ Dari Dani, nih…” Katanya sambil menunjukkan waktu percakapannya dengan Dani untukku. Dani adalah rekan sekantornya.
“ Oohh, makan dulu gih keburu dingin..” Kataku sambil menunjuk nasi goreng dengan gerakan mencondongkan daguku padanya. Dia tersenyum lebar sambil mencubit lembut daguku. Dia makan dengan lahap. Setelah menyelesaikan seporsi nasi gorengnya dia menggenggam tanganku.
“ Nina, kamu masih mikirin kejadian sewaktu liburan kemarin???” Tanyanya lembut. Aku menunduk lesu.
“ Iya Dear, aku takut…” Kataku lirih.
“ Takut apa?? Kamu takut aku akan berbuat bodoh seperti Haris atau meninggalkanmu seperti pacarnya Nerra??” Tanyanya sambil menatapku tajam. Selalu begini, aku tidak pernah sanggup menatap tajam matanya.
“ Iya. Kenapa kalian para pria selalu bersikap seperti itu..??” Aku memprotes kepadanya. Dia tertawa terbahak melihatku seperti ini.
“ Tidak semuanya sayang. Aku tidak seperti itu. Semoga…” Katanya dengan nada bercanda. Aku semakin dongkol mendengarnya.
“ Kamu tahu, kami para pria selalu mau dianggap lebih dengan sesama teman pria kami. Kami juga ingin para wanita selalu tunduk dihadapan kami. Kami selalu ingin kemauan kami dituruti. Kami ingin berselingkuh dan mencicipi setiap wanita. Tapi kamu tahu sayang, kami tidak pernah mau diperlakukan seperti itu dari wanita…” Dia bertutur lembut kepadaku.
“ Tapi kamu tidak perlu khawatir, aku berusaha untuk tetap mengerti wanitaku..” Dia menatap lurus dan menggenggam erat tanganku.
“ Aku takut kamu akan seperti itu Dear…”
“ Aku tidak akan berjanji padamu, tapi aku berusaha membuktikan sekuat tenaga ucapanku. Aku bukan type pria yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan banyak wanita. Aku cuma butuh satu wanita yang mau mengertiku dan selalu ada saat aku lemah dan terpuruk. Dan kamu tahu, itu semua aku dapatkan ada padamu. Tidak mungkin aku sebegitu bodohnya meninggalkanmu demi satu kekuranganmu yang sebenarnya sangat mudah untuk dimengerti. Kamu percaya padaku??” Dia mengusap lembut kepalaku. Pelan dia beranjak dari hadapanku dan berjalan kearah kiriku. Direngkuhnya kepalaku dan didaratkannya diantara dada dan perutnya. Beberapa pengunjung cafe yang duduk disekitar kami duduk tampak memperhatikan kami dengan cara mencuri pandang. Lelakiku tidak peduli, dia terus memelukku hangat.Aku memejamkan mata menikmati belaian lembutnya di rambutku.


Seandainya saja kalian para lelaki mau sedikit meluangkan telinga kalian untuk mendengar apa yang kami rasa, para wanita. Kami hanya ingin dimengerti. Kami memang lemah, tapi bukan berarti kalian berhak memperlakukan kami semau kalian. Mengertilah para lelaki. Tanpa kami, kaummu tidak pernah bisa hadir di muka bumi. Tapi kami tetap sadar bahwa posisi kami tetap di bawah naungan lelaki. Bagaimana kami bisa menghargai kalian pelindung kami, jika kalian telah lupa kodrat kalian untuk melindungi kami. Inilah bukti cinta dan pengabdian kami terhadap kalian para lelaki. Kami tetap tunduk dan taat akan kuasa kalian. Ini bukan pembodohan diri, ini bentuk cinta kami. Jangan anggap kami lemah disaat air mata kami menurun deras membasahi pipi. Itu adalah senjata kami untuk mendo’akan kalian para lelaki agar didengar oleh Sang Illahi Rabbi. 

Seandainya saja kalian para lelaki sadar betul akan kekuatan hebat kami dibalik kelemahan kami. Kalian tentu akan menyilangkan pedang dibelakang bahu kalian dan merengkuh kami dalam perlindungan. Seandainya saja kalian para lelaki, paham betul disetiap hembus dan tarikan nafas kami selalu berjuang menyebut nama kalian dalam setiap do’a. Kami tidak berusaha mencari pembenaran disetiap tindak tanduk kami, kami hanya ingin satu hal yang kalian lakukan pada kami. Mengertilah kami para lelaki. Satu pengertian kalian, cukup menguatkan pilar-pilar hati kami yang demikian lemah. Jangan beri kami ucap janji tanpa tanda bukti. Inilah kesungguhan kami, mendedikasikan diri demi satu pahlawan hebat yang kelak akan menuntun kami menuju Surga yang dijanjikan oleh Sang Illahi. Percayalah kalian para lelaki, kami mengabdi sungguh kepada kalian, lahir dan bathin. Jika suatu saat kami melakukan kesalahan, jangan hukum kami dengan pedang yang kalian simpan di balik punggung kokoh kalian, rengkuh kami dalam satu pelukan tanpa hunusan pedang. Karna kami lemah tanpa kalian.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar