“ Aku selalu sedih jika mengingatnya. Hubungan kami
sudah menginjak usia tiga tahun. Banyak hal yang telah kami rencanakan. “
Matanya menerawang jauh saat menceritakan isi hatinya kepadaku. Kulihat matanya
sedikit berkaca-kaca. Kopinya tinggal setengah. Aku ikut khawatir melihatnya.
“ Dia memberikan banyak hadiah
padaku. Dia juga banyak memberikan janji padaku. Dia juga memberikan ini..”
katanya lagi sambil menunjukkan jari manis di tangan kirinya. Aku melihat ada
cincin manis melingkar disitu. Aku yakin itu cincin tunangan atau apalah
namanya. Entah aku tidak tahu.
“ Kalian bertunangan?? “ tanyaku
datar.
“ Kami belum berani berkomitmen.
Perbedaan itu membuat kami ragu untuk melangkah lebih jauh. Kamu tahu, dia
sangat mencintaiku. Aku juga begitu kepadanya. Dan aku juga yakin, cintanya
tidak pernah setengah-setengah kepadaku…” kali ini air matanya mulai mengalir.
Aku tetap setia menjadi pendengar setianya. Kuulurkan sebuah tissue yang
kuambil dari dalam tasku. Aku mencoba menutupi wajahnya dari pandangan setiap
orang. Café ini tidak cukup sunyi untuk acara drama mellow seperti ini.
“ Perbedaan?? Apa maksudnya??
Bukankah kalian saling mencintai ??” Tanyaku semakin menyelidik. Aku semakin
penasaran dengan jalan ceritanya. Lima tahun tidak bertemu membuat banyak
cerita terkumpul diantara kami. Dia menghela napas panjang diterakhir
pertanyaanku untuknya. Aku menangkap ada beban berat disudut matanya. Mata itu
dulu tampak begitu ceria di balik senyum tawanya yang lepas. Perbedaan jelas
sekali terpancar sekarang. Sendu dan lemah.
“ Kami memang saling mencintai.
Tiga tahun bukan waktu yang singkat…” Kali ini kedua tangannya menengadah
menopang dagunya. Keningku berdraperi melihatnya seperti itu. Aku menggenggam
tangannya tanpa mengucap apapun. Kuanggukkan kepala sebagai tanda aku mau
mendengar segala keluh kesahnya.
“ Ini begitu berat buatku.
Merelakkan cintaku harus pergi tanpa aku sanggup untuk menahannya. Keyakinan
ini membuat kami berpisah. Dia tidak bisa mengikutiku. Begitu pula denganku.
Banyak yang menyarankan agar kami menikah di Singapura. Keluarganya juga
mengatakan seperti itu kepadaku. Tapi aku tidak bisa seperti ini…” Suaranya
melemah seiring derai air matanya yang semakin deras.
“ Nerra, maaf aku baru tahu… Maaf
aku tidak pernah menghubungimu…” Aku menyesal karena harus pergi lama
meninggalkan kota ini. Kota dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Sedemikian
hebatnya hingga pada saat aku lulus SMA, aku harus pergi dari kota ini dan
pergi menimba ilmu di kota lain. Begitu terus hingga lima tahun berlalu dan aku
telah bekerja di kota tersebut.
“ Dan kamu tahu, setelah kami
memutuskan untuk tidak meneruskan hubungan kami, secepat itu pula dia
memutuskan untuk menikah dengan wanita lain. Cukup cepat, dalam tiga minggu dia
langsung memutuskan menikah dengan orang lain. Begitu cepatnya dia melupakan
aku. Dia tidak tahu kalau aku disini berjuang mati-matian untuk tetap tegar
menerima keputusan ini…” Dadanya naik turun menahan emosi yang semakin melebur.
Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Pukul 15.45.
“ Dia menikah dengan siapa??”
Tanyaku memburu.
“ Seorang gadis yang berusia
sangat muda, baru berusia 19 tahun. Hasil perjodohan keluarganya, dan dia
menerimanya…” Suaranya semakin melemah. Bulir-bulir air matanya tidak tampak
lagi. Namun hasil tangisan itu menyisakan sembab yang tidak bisa disembunyikan
begitu saja. Beberapa pasang mata tampak mengawasi kami. Mereka pasti berpikir
kami pasangan lesbi yang sedang gundah memikirkan hubungan kami.
“ Dia bukan jodoh kamu Nerra.
Lupakan dia, dia tidak pantas untukmu…” Kataku berusaha menghiburnya. Aku tahu apapun
yang kulakukan tidak akan menghasilkan hal baik untuknya. Namun paling tidak
aku berusaha.
“ Tolong antar aku pulang…” Dia
segera meraih tas tangannya dan keluar dari café. Aku memanggil pelayan dan
meminta bill kepadanya.
***
Pagi ini aku bangun sedikit terlambat. Pertemuanku
kemarin dengan Nerra membuatku bergidik ngeri. Aku dulu juga pernah mengalami
hal yang sama. Merasa tersakiti dengan kehadiran seorang pria. Aku terlalu
menganggapnya sempurna hingga aku mengacuhkan setiap orang yang berusaha
mengatakan hal buruk tentangnya. Aku terpuruk dan tidak bisa melakukan hal
apapun selain memikirkannya. Walaupun kejadian itu telah terjadi setahun yang
lalu. Namun aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Aku ingat dengan jelas
bagaimana cara dia menyakitiku.
Dan sekarang aku telah menjalin hubungan yang baru dengan seorang pria yang berusia sama denganku. Andreast namanya. Handphoneku berbunyi. Pacarku menelpon, ya aku telah kembali menjalin hubungan selama empat bulan dengannya. Dia yang sanggup mengubur kenangan buruk masa laluku.
Dan sekarang aku telah menjalin hubungan yang baru dengan seorang pria yang berusia sama denganku. Andreast namanya. Handphoneku berbunyi. Pacarku menelpon, ya aku telah kembali menjalin hubungan selama empat bulan dengannya. Dia yang sanggup mengubur kenangan buruk masa laluku.
“ Morning Dear…” Sapaku ramah.
“ Morning, udah bangun?? “
Tanyanya di ujung sana. Suaranya masih berat, mungkin dia baru bangun.
“ Udah, ini lagi minum kopi..”
jawabku renyah. Aku merindukannya. LDR membuat kami harus sering berkomunikasi.
“ Jangan terlalu banyak minum
kopi. Ingat riwayat penyakitmu..” Dia selalu mengingatkan aku tentang segala
hal termasuk riwayat penyakitku yang buruk. Hebatnya, dia tidak pernah bosan
untuk itu.
“ Iya, kamu baru bangun..??”
tanyaku cepat, buru-buru aku mengalihkan pembicaraan kami agar dia tidak
terlalu khawatir. Aku menyukai caranya memperlakukanku. Aku merindukan pelukan
lembutnya saat kami sama-sama baru membuka mata. Kecupan hangat di keningku.
Obrolan kami mengalir ringan pagi ini. Dua belas menit di pagi ini cukup
memompa semangatku. Aku kembali mengingat Nerra. Sahabat terbaikku itu sedang
mengalami masa sulit dalam hidupnya. Setelah beberapa kali gagal menikah
membuat dia urung dekat dengan pria. Aku membereskan tempat tidurku dan
beranjak menuju kamar mandi. Kuputuskan untuk menemaninya hari ini.
***
“ Aku sudah tidak sanggup lagi. Keluargaku selalu
menuntutku untuk menikah. Tapi mereka tidak pernah mau tahu seperti apa yang
kurasa saat ini. Yang mereka tahu, begitu banyak lelaki di dunia ini dan begitu
banyak wanita yang dengan mudah mendapatkan jodohnya. Tapi itu tidak berlaku
buat aku Nina, Ibuku terus saja mendesakku untuk menemukan jodohku…” Dia
bercerita sambil memeluk guling. Kamar kostannya terlihat berantakan. Aku
mendengarkan sambil membenahi baju-baju kotor yang berserakan di penjuru kamar.
“ Kapan terakhir kamu pulang?? “
Tanyaku sambil mengulurkan segelas air putih untuknya. Dadaku ikut sesak
mendengarnya. Ooohhhwwwff tak tahukah kamu Nerra kalau keluargaku juga
melakukan hal yang serupa buatku.
“ Dua bulan yang lalu. Aku hanya
mengirimi uang setiap bulan kepada Ibuku. Selebihnya aku tidak sanggup untuk
pulang. Aku tidak sanggup melihat mata keluargaku yang selalu saja menyiratkan
pertanyaan yang sama. Tanpa mereka bertanya pun aku tahu akan kemana arah
pembicaraannya…” Nerra meneguk cepat air putih yang aku berikan padanya. Dia
kehausan rupanya. Aku masih sibuk membenahi isi kamarnya. Ini sengaja kulakukan
agar aku tidak terlalu tampak khawatir padanya. Tentu Nerra tidak menginginkan
hal itu. Dia benci jika aku iba padanya.
“ Nerra, sepertinya lebih baik
kamu mandi. Tampangmu terlihat sangat kusut. Setelah mandi kamu boleh
menceritakkan segala hal yang ingin kamu ceritakan kepadaku…” Aku mengalihkan
pembicaraan dengan menyarankannya untuk mandi.
“ Ide yang bagus…” Nerra
tersenyum simpul sambil mengambil handuk baru dari dalam lemarinya. Aku menghela
nafas panjang sambil menatap punggungnya yang menjauhiku menuju kamar mandi. Aku
melangkahkan kaki menuju sisi jendela. Kamar kost Nerra berada di lantai dua dan
menghadap jalan raya. Aku memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Kusisir pandanganku
ke segala penjuru kamar Nerra. Mataku menangkap sebuah bingkai foto yang tidak
terpasang sebagaimana mestinya. Tertelungkup. Cepat aku beranjak dan melihat apa
isinya. Duh Gusti. Nerra masih menyimpan fotonya bersama Donny, mantan
kekasihnya. Penasaran aku membuka laci meja riasnya. Tuhanku, aku melihat
banyak foto disitu. Foto tentang mereka berdua. Melihatnya hatiku ikut
bergetar. Sebagai sesama wanita, aku bisa ikut merasakan penderitaannya. Ponselku
berbunyi. Pacarku mengirimiku pesan, dari pagi aku belum mengabarinya. Tentu dia
mengkhawatirkanku.
***
Bunyi gaduh diluar membuatku terbangun cepat dari
tidur siangku. Liburanku kali ini kurang menarik. Aku mendengar suara piring
yang pecah. Bukan, ini bukan suara piring yang jatuh dan pecah. Ini suara
piring yang sengaja dibanting. Pecahannya berulang kali. Aku cepat keluar kamar
dan mengikat rambutku sekenanya. Suara ini berasal dari sebelah kiri rumahku. Tepatnya
di rumah Mbak Nini. ‘ada apa ini??’ batinku.
“ Mbak Ninaaa tolong Mama…” Suara
si kecil Hesty berteriak-teriak memanggilku. Langkah kaki kecilnya menghambur
ke pelukanmu. Dia menangis sampai matanya sembab. Dia bercerita bahwa Mamanya
dipukuli oleh Papanya. Masya Allah, kenapa bisa sampai seperti ini. Sambil
menggendong Hesty aku berjalan pelan ke arah rumah Mbak Nini. Dia menangis
terisak disudut ruang tamu. Suaminya baru saja keluar menggunakan mobil. Disudut
pelipis kirinya tampak memar dan mengeluarkan darah. Bibir bawahnya tampak
pucat dan membiru. Ada darah segar yang mengalir dari bibir tersebut. Buru-buru
aku meletakkan Hesty yang sedang menangis di sofa ruang tamu. Dengan sekali
gerakan aku menuju rumahku dan mengambil kotak obat. Sesampainya dirumah Mbak
Nini aku segera mengambil air panas yang kuambil dari dispenser. Ku obati
lukanya. Kupeluk dia hangat dan mengatakan bahwa ini semua telah berakhir.
Papanya Hesty sudah keluar menggunakan mobil. Kugenggam erat tangannya dan
kupapah dia menuju kamar tidur Hesty. Setelah dirasa agak tenang dia mulai
bercerita padaku. Sementara Hesty telah tertidur lelap, mungkin dia kecapaian
karena menangis.
“ Mas Haris selalu pulang lewat
dari jam 1 malam Nina. Dia selalu marah jika aku menegurnya. Dia selalu bilang
ini semua urusan kantor. Dia tidak pernah lagi mengecup lembut keningku sebelum
berangkat kerja. Ciumanku pun selalu ditolaknya. Hesty menjadi takut dengan
Papanya. Dia pernah dibentak kuat sewaktu Hesty minta diajari mengerjakan
pekerjaan rumahnya. Dia juga selalu menolak masakan yang aku buat. Dia selalu
marah jika dia pulang dan aku telah tertidur lelap. Dia maunya aku tetap
menunggu dalam keadaan yang bugar. Kamu tahu Nina, itu tentu saja tidak
mungkin. Seharian aku juga sibuk bekerja. Puncaknya semalam. Dia pulang pukul 2
pagi. Aku menegurnya, dia marah dan memakiku habis-habisan. Rambutku digunting
paksa dan aku dipukul menggunakan tongkat base ball. Dia mengusirku dari rumah,
namun aku menolak. Pagi tadi dia meminta semua ATM ku, aku menolak. Tapi hasilnya
apa, dia membanting apa saja yang ada dirumah ini. Hesty pun kena tamparan
darinya. Aku tidak sanggup lagi Nina…” Mbak Nini bercerita panjang kepadaku. Aku
sangat miris mendengarnya. Kurengkuh dia dalam pelukanku. Aku ikut menangis. Liburanku
kali ini diisi dengan banyak hal yang membuatku tercengang dan tersadarkan,
bahwa aku masih jauh lebih beruntung ketimbang mereka.
“ Mbak, apa Mbak tidak pernah
menyelidiki seluk beluk Mas Haris sepulang beliau kerja…” Tanyaku hati-hati,
aku takut terlalu mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
“ Aku sudah menanyai teman-teman
kantornya. Dan jawaban mereka semua sama. Mas Haris selalu pulang tepat pukul
lima sore. Aku yakin dia punya wanita lain selain aku…” Air mata Mbak Nini
mengalir deras, lagi. Dalam hati aku memaki habis-habisan suami dari tetanggaku
ini. Kenapa kalian para lelaki tidak pernah puas hanya dengan satu wanita. Jauh
disudut hatiku aku berdoa, semoga pacarku jauh lebih baik ketimbang mereka. Mereka
semua yang pernah menyakitiku, juga yang pernah menyakiti para wanita didunia
ini.
Mbak Nini meneruskan ceritanya. Aku
hanya bisa memberi saran sekedarnya. Ingin sekali aku menyarankannya untuk
bercerai, namun dari ceritanya Mbak Nini dia masih sangat mencintai ayah dari
Hesty tersebut. Dan dari semua ceritanya, terlihat sekali bahwa dia ingin tetap
bertahan di kehidupan rumah tangganya. Walau untuk itu semua harus dibayar
dengan memar dan lebam.
***
Ini hari terakhirku liburan. Aku mengirim pesan kepada
Nerra berpamitan dan mengucapkan salam perpisahan. Semalam kami bersama-sama. Sepertinya
dia sudah jauh lebih tegar ketimbang tujuh hari yang lalu, sewaktu aku bertemu
pertama kali dengannya. Hebatnya, dia juga jauh lebih religious. Semoga dengan
kejadian ini dia tetap bisa bertahan seperti ini. Dia bilang, dia akan menikah.
Hanya dia satu-satunya dalam keluarga yang belum menikah. Ibunya semakin tua,
menyarankan dia menikah dengan anak dari kolega keluarganya. Dia belum pernah
bertemu dengan lelaki tersebut, namun hebatnya dia menyetujui hasil perjodohan
Ibunya. Aku bertanya apakah dia yakin dengan jawabannya. Dia menjawab bahwa
cinta akan datang seiring berjalannya waktu. Aku memeluknya erat, aku berjanji
akan datang dihari pernikahannya. Tuhanku, semoga ini yang terbaik untuk Nerra.
***
Lamunanku terhenti oleh suara berat yang sangat
kukenal. Ya dia pacarku. Hari ini aku menikmati senja dengannya di cafe bernuansa outdoor yang ada di kota tempatku bekerja. Kami menunggu saat sambil menikmati makan malam yang sebetulnya terlalu sore untuk menikmatinya. Baru saja aku
menceritakkan banyak hal untuknya sewaktu aku liburan kemarin. Sore ini dia
terlihat macho dengan kemeja hitam dan jeans belel kesukaannya. Jambangnya sengaja
dibiarkan tumbuh liar. Wajahnya terlihat lebih eksotik. Aroma bullgari
menyeruak menembus angin sore dan menyelusup lembut ke rongga pernapasanku. Dia
baru saja menerima telepon.
“ Dari siapa..?” Tanyaku tanpa
berusaha menyelidik.
“ Dari Dani, nih…” Katanya sambil
menunjukkan waktu percakapannya dengan Dani untukku. Dani adalah rekan
sekantornya.
“ Oohh, makan dulu gih keburu
dingin..” Kataku sambil menunjuk nasi goreng dengan gerakan mencondongkan
daguku padanya. Dia tersenyum lebar sambil mencubit lembut daguku. Dia makan
dengan lahap. Setelah menyelesaikan seporsi nasi gorengnya dia menggenggam
tanganku.
“ Nina, kamu masih mikirin
kejadian sewaktu liburan kemarin???” Tanyanya lembut. Aku menunduk lesu.
“ Iya Dear, aku takut…” Kataku
lirih.
“ Takut apa?? Kamu takut aku akan
berbuat bodoh seperti Haris atau meninggalkanmu seperti pacarnya Nerra??”
Tanyanya sambil menatapku tajam. Selalu begini, aku tidak pernah sanggup
menatap tajam matanya.
“ Iya. Kenapa kalian para pria
selalu bersikap seperti itu..??” Aku memprotes kepadanya. Dia tertawa terbahak
melihatku seperti ini.
“ Tidak semuanya sayang. Aku tidak
seperti itu. Semoga…” Katanya dengan nada bercanda. Aku semakin dongkol
mendengarnya.
“ Kamu tahu, kami para pria
selalu mau dianggap lebih dengan sesama teman pria kami. Kami juga ingin para wanita
selalu tunduk dihadapan kami. Kami selalu ingin kemauan kami dituruti. Kami ingin
berselingkuh dan mencicipi setiap wanita. Tapi kamu tahu sayang, kami tidak
pernah mau diperlakukan seperti itu dari wanita…” Dia bertutur lembut kepadaku.
“ Tapi kamu tidak perlu khawatir,
aku berusaha untuk tetap mengerti wanitaku..” Dia menatap lurus dan menggenggam
erat tanganku.
“ Aku takut kamu akan seperti itu
Dear…”
“ Aku tidak akan berjanji padamu,
tapi aku berusaha membuktikan sekuat tenaga ucapanku. Aku bukan type pria yang
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan banyak wanita. Aku cuma butuh satu
wanita yang mau mengertiku dan selalu ada saat aku lemah dan terpuruk. Dan kamu
tahu, itu semua aku dapatkan ada padamu. Tidak mungkin aku sebegitu bodohnya
meninggalkanmu demi satu kekuranganmu yang sebenarnya sangat mudah untuk
dimengerti. Kamu percaya padaku??” Dia mengusap lembut kepalaku. Pelan dia
beranjak dari hadapanku dan berjalan kearah kiriku. Direngkuhnya kepalaku dan
didaratkannya diantara dada dan perutnya. Beberapa pengunjung cafe yang duduk disekitar kami duduk tampak memperhatikan kami dengan cara mencuri pandang. Lelakiku
tidak peduli, dia terus memelukku hangat.Aku memejamkan mata menikmati belaian lembutnya di rambutku.
Seandainya saja
kalian para lelaki mau sedikit meluangkan telinga kalian untuk mendengar apa
yang kami rasa, para wanita. Kami hanya ingin dimengerti. Kami memang lemah,
tapi bukan berarti kalian berhak memperlakukan kami semau kalian. Mengertilah para
lelaki. Tanpa kami, kaummu tidak pernah bisa hadir di muka bumi. Tapi kami
tetap sadar bahwa posisi kami tetap di bawah naungan lelaki. Bagaimana kami
bisa menghargai kalian pelindung kami, jika kalian telah lupa kodrat kalian
untuk melindungi kami. Inilah bukti cinta dan pengabdian kami terhadap kalian
para lelaki. Kami tetap tunduk dan taat akan kuasa kalian. Ini bukan pembodohan
diri, ini bentuk cinta kami. Jangan anggap kami lemah disaat air mata kami
menurun deras membasahi pipi. Itu adalah senjata kami untuk mendo’akan kalian
para lelaki agar didengar oleh Sang Illahi Rabbi.
Seandainya saja kalian para lelaki sadar betul akan kekuatan hebat kami
dibalik kelemahan kami. Kalian tentu akan menyilangkan pedang dibelakang bahu
kalian dan merengkuh kami dalam perlindungan. Seandainya saja kalian para
lelaki, paham betul disetiap hembus dan tarikan nafas kami selalu berjuang
menyebut nama kalian dalam setiap do’a. Kami tidak berusaha mencari pembenaran
disetiap tindak tanduk kami, kami hanya ingin satu hal yang kalian lakukan pada
kami. Mengertilah kami para lelaki. Satu pengertian kalian, cukup menguatkan
pilar-pilar hati kami yang demikian lemah. Jangan beri kami ucap janji tanpa
tanda bukti. Inilah kesungguhan kami, mendedikasikan diri demi satu pahlawan
hebat yang kelak akan menuntun kami menuju Surga yang dijanjikan oleh Sang
Illahi. Percayalah kalian para lelaki, kami mengabdi sungguh kepada kalian,
lahir dan bathin. Jika suatu saat kami melakukan kesalahan, jangan hukum kami dengan
pedang yang kalian simpan di balik punggung kokoh kalian, rengkuh kami dalam satu pelukan tanpa hunusan pedang. Karna kami lemah
tanpa kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar